Secara linguistik, kata Taufan Al-Aqsha atau “Banjir Al-Aqsa ” mengacu pada istilah informal yang digunakan untuk merujuk pada peristiwa, gerakan politik, atau protes yang intens yang terjadi di kawasan yang dikenal sebagai Al-Aqsa, yang merupakan tempat suci bagi agama Islam dan Yahudi. Istilah ini biasanya dikaitkan dengan peristiwa yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina dan dampaknya. Banjir dalam bahasa Arab biasanya berarti badai air yang besar dan merusak. Jika kata ini digunakan untuk menyebut peristiwa di Al-Aqsa, maka mencerminkan besarnya gejolak dan ketegangan yang bisa terjadi dalam konteks tersebut.
Taufan Al-Aqsha adalah sebuah fenomena sosial dan politik yang telah mengguncang Timur Tengah dan dunia internasional. Dengan latar belakang konflik antara Israel dan Palestina, taufan ini telah mengundang perhatian global. Dalam artikel ini, kita akan mencoba menganalisis Taufan Al-Aqsha dari sudut pandang linguistik, yaitu cara bahasa dan komunikasi berperan dalam memahami, merespon, dan membentuk peristiwa-peristiwa yang terjadi. Meskipun biasanya kita melihat konflik ini dari perspektif politik dan sosial, perspektif linguistik dapat membantu kita memahami peran penting bahasa dalam perkembangan peristiwa ini.
1. Bahasa sebagai Alat Propaganda
Bahasa adalah alat utama dalam mempropagandakan pandangan, nilai-nilai, dan agenda politik dalam konflik seperti Taufan Al-Aqsha. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini menggunakan bahasa untuk membentuk persepsi publik dan mendapatkan dukungan domestik dan internasional. Misalnya, Israel dan Palestina masing-masing menggunakan bahasa untuk mempromosikan naratif mereka. Israel menggunakan istilah "Operasi Warga Sipil" untuk merujuk kepada serangan mereka di Jalur Gaza, sementara Palestina menyebutnya sebagai "Agresi Israel." Perbedaan dalam penggunaan bahasa ini menciptakan perbedaan dalam persepsi dan pandangan masyarakat global. Sebagaimana dalam (Karman :2017) bahwa bahasa sebagai sistem instumental simbolik, dihasilkan dua sintesa, yaitu: sistem simbolik sebagai “structuring symbols” dan “structured symbols”. Sintesa ini merupakan titik utama pandangan Bourdieu bahwa bahasa sebagai alat sosial yang memiliki muatan ideologis, politis. Bahasa adalah simbol kekuasaan dari suatu identitas kultural tertentu. Kekuasaan simbolik berjalan melalui mekanisme sistem instumental simbolik, yaitu: sebagai struktur-menstruktur (structuring structures) atau modus operandi dan sebagai struktur-distruktur (structured structures) atau modus operatum; dan sebagai instrumen dominasi dan meraih kekuasaan. Bahasa bukan hanya transmisi pesan atau transaksi linguistik tapi transmisi kuasa.
2. Isu Sensitif dalam Terjemahan
Terjemahan juga memainkan peran kunci dalam konflik seperti Taufan Al-Aqsha. Bahasa Ibrani dan Arab adalah bahasa utama dalam konflik ini, dan terjemahan yang tepat dapat memiliki dampak yang signifikan pada cara pesan dan naratif disampaikan. Terjemahan yang tidak akurat atau bias dapat memicu kontroversi. Contohnya, kata-kata seperti "haram al-Sharif" (Haram Ash-Sharif) dalam bahasa Arab dan "Temple Mount" dalam bahasa Ibrani dan Inggris memiliki konotasi budaya dan agama yang berbeda. Muatan (content) bahasa berdiri di atas bentuk bahasa yang merupakan medium dalam menentukan sebua makna. Oleh karena itu translasi satu bahasa ke bahasa lain sangat problematik dan kadang menjadi tidak mungkin. Translasi kadang hanya mampu memindahkan bahasa akan tetapi tidak mampu memindahkan muatan dan makna, karena ada semacam unverbalized thought yang harus juga diterjemahkan. (Wahyu Widhiarso :2005). Terjemahan yang tepat adalah bagian penting dari memahami isu-isu yang kompleks dalam konflik Al-Aqsha.
3. Bahasa dalam Media Sosial dan Informasi Cepat
Perkembangan teknologi dan media sosial telah mengubah cara konflik seperti Taufan Al-Aqsha dipersepsikan dan dipahami. Media sosial memungkinkan pesan tersebar dengan cepat dan tanpa filter. Bahasa dalam media sosial menjadi sarana penting dalam menyebarkan naratif dan menciptakan opini publik. Teknologi komunikasi yang bergerak sangat cepat dalam jalan cyberspace itu menyebabkan terjadinya impuls sosial budaya yang sangat beragam, saling tumpang tindih, dan pada akhirnya memicu proses pencampuradukkan berbagai wacana nilai ke dalam wacana posmodernisme sebagai sebuah tindakan irasional, ekletik, dan pluralitas (Hadi: 2005). Para pemimpin dan aktivis menggunakan platform seperti Twitter dan Facebook untuk berkomunikasi langsung dengan publik global, mengubah dinamika konflik. Oleh karena itu, pemahaman linguistik sangat penting dalam mengurai naratif-naratif yang berkembang di media sosial selama taufan ini.
Editor : Iman Nurhayanto