Sarwono juga menceritakan selama kurang lebih 16 tahun bekerja di tanah perantauan itu ia merasa betah. Selain, dibangunkan rumah, ia juga mengaku turut menerima jatah beras dari perusahaan.
Namun, karena telah terjadi sebuah peristiwa nasional yang sangat mengegerkan waktu itu, Sarwono pun memutuskan pulang ke tanah kelahirannya.
“Penak jane, wonten kerusuhan dadi bali ngeneh. Jane kontrake kan 5 tahun tapi betah dados kulo nambah malih nambah malih, terus kerusuhan kulo wangsul, jane nek boten kerusuhan kulo boten wangsul (Sebenarnya enak di sana, karena ada kerusuhan (tahun 1998) jadi kembali ke sini.
Sebenarnya waktu itu kan dikontrak hanya 5 tahun, tapi karen saya betah jadinya nambah-nambah terus. Sebenarnya kalau tidak terjadi kerusuhan saya tidak akan kembali),” kenangnya.
Selang kepulangannya dari tanah perantauan di tahun 2000 itu, tepatnya 6 tahun kemudian, Sarwono mulai berusaha dengan berjulan rangin dengan memanfaatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kala itu ia terima.
“Anu niki olih bantuan saking pemerintah pas jaman SBY, BLT. Kulo olih 600 terus dodolan niki (Dapat bantuan sewaktu pemerintahan SBY, BLT. Saya dapat Rp 600 ribu, kemudian uang itu saya gunakan untuk modal berjualan rangin ini),” ujar pria yang tinggal di daerah Grendeng, Purwokerto Utara.
Sarwono biasa mulai berjualan di lapaknya yang terletak di tepi jalan depan Kelurahan Grendeng, Purwokerto Utara dari pukul 06.00 sampai pukul 09.00 WIB. Setiap harinya Sarwono biasa menghabiskan adonan sebanyak 3 kg.
Sebelum berangkat menuju tempatnya berjualan, dari rumah dirinya telah membuat sejumlah rangin terlebih dahulu untuk dijajakan karena proses pembuatannya selama kurang lebih setengah jam.
Meski demikian, pendapatan yang ia peroleh perharinya hanya mampu untuk kebutuhan makan sehari-sehari.
“Biasane sing tumbas niku tiyang olahraga, kalih tiyang-tiyang sing liwat mriki, kadang mahasiswa, bocah-bocah sekolahan malah boten. Ya kena nggo nempur lah. Kena nggo tuku beras. Seket lah kira-kira (Biasanya yang beli itu orang yang olahraga kebetulan lewat, sama orang-orang yang lewat sini, kadang mahasiswa, anak-anak sekolah malah tidak pernah beli. Bisa untuk bertempur lah. Cuma bisa untuk beli beras, kira-kira Rp 50 ribu),” terangnya sembari melemparkan tawa.
Editor : Iman Nurhayanto