PURWOKERTO, iNewsJatenginfo.id - Suasana pagi hari ini, Kamis (9/6/) masih terbalut dengan dingin dari sisa hujan semalam di Kota Satria yang bekasnya masih tampak berupa corak-corak basah di aspal jalanan.
Kendati demikian, tampak kemegahan di langit sisi utara, ialah Gunung Slamet yang sedang menampakkan wajahnya dengan begitu gagah atau barangkali ia juga tengah menantikan fajar yang masih berselimut kelabu.
Saat tengah melintasi salah satu kampus negeri kenamaan di Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), tepatnya di Jalan Kampus, depan Kelurahan Grendeng, Purwokerto Utara, seorang lelaki tua berpeci tengah menyapu genangan air yang ada di depan lapak dagangannya. Pria berusia lanjut itu bernama Sarwono.
Dengan senyum simpul dan suara yang ramah, ia memberi tahu bahwa rangin dagangannya seharga Rp 500 per buahnya.
“Kulo pesen 10, Pak (Saya pesan 10 buah, Pak),” sahut pemuda di hadapannya.
Selang beberapa saat, Sarwono langsung mengambil selembar kertas minyak dari tumukannya untuk membungkus pesanan pemuda itu.
Kepada pemuda itu, Sarwono yang kini menginjak usia 72 tahun menceritakan bahwa ia sudah 16 tahun berjualan rangin.
“Kawit 2006 mulaih sadean niki. Pertamane keliling, ya kana GOR muter. Waune teng toko mriku terus geser-geser mriki. (Sejak 2006 mulai berjualan rangin ini. Pertamanya keliling, muter GOR sana. Sebelumnya, di emperan toko itu, terus bergese-bergeser sampai akhirnya di sini,” jelasnya sembari menyerahkkan pesanan pemuda itu.
Usut punya usut, sebelum berjualan rangin, ternyata Sarwono pernah merantau hingga ke wilayah Indonesia Timur. Saat itu, ia mendaftarkan diri melalui Departemen Tenaga Kerja (Depnaker).
Begitu diterima dan mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan, ia bersama dengan keluarganya pun berangkat menuju Ambon dengan menaiki sebuah kapal.
“Kulo teng Ambon, pulau Seram, Maluku Tengah. Dados karyawan PT anu buruh teng perkebunan kelapa, coklat, kalih karet. Mangkate tahun 1984, wangsul mriki tahun 2000 (Saya pernah di Ambon, di Pulau Seram, Maluku Tengah. Jadi karyawan PT, semacam buruh di perkebunan kelapa, coklat, dan karet. Dulu berangkat tahun 1984, terus pulang ke Purwokerto tahun 2000),” kenang pria yang kini telah dikaruniai 7 orang cucu pada iNewsPurwokerto.id.
Sarwono juga menceritakan selama kurang lebih 16 tahun bekerja di tanah perantauan itu ia merasa betah. Selain, dibangunkan rumah, ia juga mengaku turut menerima jatah beras dari perusahaan.
Namun, karena telah terjadi sebuah peristiwa nasional yang sangat mengegerkan waktu itu, Sarwono pun memutuskan pulang ke tanah kelahirannya.
“Penak jane, wonten kerusuhan dadi bali ngeneh. Jane kontrake kan 5 tahun tapi betah dados kulo nambah malih nambah malih, terus kerusuhan kulo wangsul, jane nek boten kerusuhan kulo boten wangsul (Sebenarnya enak di sana, karena ada kerusuhan (tahun 1998) jadi kembali ke sini.
Sebenarnya waktu itu kan dikontrak hanya 5 tahun, tapi karen saya betah jadinya nambah-nambah terus. Sebenarnya kalau tidak terjadi kerusuhan saya tidak akan kembali),” kenangnya.
Selang kepulangannya dari tanah perantauan di tahun 2000 itu, tepatnya 6 tahun kemudian, Sarwono mulai berusaha dengan berjulan rangin dengan memanfaatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kala itu ia terima.
“Anu niki olih bantuan saking pemerintah pas jaman SBY, BLT. Kulo olih 600 terus dodolan niki (Dapat bantuan sewaktu pemerintahan SBY, BLT. Saya dapat Rp 600 ribu, kemudian uang itu saya gunakan untuk modal berjualan rangin ini),” ujar pria yang tinggal di daerah Grendeng, Purwokerto Utara.
Sarwono biasa mulai berjualan di lapaknya yang terletak di tepi jalan depan Kelurahan Grendeng, Purwokerto Utara dari pukul 06.00 sampai pukul 09.00 WIB. Setiap harinya Sarwono biasa menghabiskan adonan sebanyak 3 kg.
Sebelum berangkat menuju tempatnya berjualan, dari rumah dirinya telah membuat sejumlah rangin terlebih dahulu untuk dijajakan karena proses pembuatannya selama kurang lebih setengah jam.
Meski demikian, pendapatan yang ia peroleh perharinya hanya mampu untuk kebutuhan makan sehari-sehari.
“Biasane sing tumbas niku tiyang olahraga, kalih tiyang-tiyang sing liwat mriki, kadang mahasiswa, bocah-bocah sekolahan malah boten. Ya kena nggo nempur lah. Kena nggo tuku beras. Seket lah kira-kira (Biasanya yang beli itu orang yang olahraga kebetulan lewat, sama orang-orang yang lewat sini, kadang mahasiswa, anak-anak sekolah malah tidak pernah beli. Bisa untuk bertempur lah. Cuma bisa untuk beli beras, kira-kira Rp 50 ribu),” terangnya sembari melemparkan tawa.
Satu hal yang bisa dipelajari dari Sarwono, yaitu kegigihannya dalam mencari sesuap nasi. Kendati telah menginjak usia senja, Sarwono masih berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di balik fisiknya yang segar, serta wajahnya yang bersahaja, tersirat untaian doa untuknya agar menyalakan dapur rumah tangganya.
Editor : Iman Nurhayanto