Menilai Kandidat
Kita telah bersepakat bahwa demokrasi elektoral (pemilu) merupakan cara untuk menentukan seorang pemimpin negara dan pemerintahan (capres-cawapres, cagub-cawagub, cabup- cawabup/cawalikota-cawawalikota), serta wakil rakyat sebagai anggota legislalatif di berbagai tingkatan (DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Di tingkat pedesaan ada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) sebagaimana Undang-Undang telah mengaturnya.
Pemilu dilaksanakan melalui pemungutan suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia dan adil. Siapa kandidat yang mendapatkan jumlah suara terbanyak (kuantitatif) berdasarkan hasil pemungutan suara sesuai UU dan peraturan yang berlaku, dialah pemenang yang berhak menduduki jabatan. Perhitungan secara kuantitatif itulah cara yang paling mudah diterima akal manusia. Berbagai organisasi masyarakat (Ormas) berlatarbelakang agama/non agama, profesi dan lainnya melakukan reorganisasi juga menggunakan pemilihan secara langsung.
Kaidah fikih menyatakan “nahnu nahkumu bidhawahir” (kita bisa menghukumi sebatas apa yang nampak). Maka hasil pemilu yang berupa angka-angka untuk setiap kandidat musti dilakukan secara jujur, terbuka, adil dan bertanggungjawab oleh penyelenggara pemilu. Apapun hasilnya harus kita terima dan hormati sebagai “suara rakyat”. Sebab kita sedang tidak mengadili niat, motif dan tujuan tersembunyi di hati setiap pemilih. Jika ada yang keberatan dan menemukan kecurangan, silakan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan menunjukkan bukti-bukti shahih (bukan dhaif) sebagai salah satu proses legal dan dibenarkan Undang-Undang.
Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang menyatakan : “Wani Ngalah Luhur Wekasane”. Ungkapan ini merupakan sikap dan prinsip hidup yang selalu mengutamakan kesabaran dan rela mengalah. Segala konflik sosial harus dihindari dengan selalu mawas diri, mengingat dan waspada dalam bersikap dan bertindak tanduk dengan tidak mengedepankan nafsu duniawi. Serta menjaga keharmonisan dan kerukunan sesama manusia. Ada pula ungkapan “Kalah Dhuwur Rekasane”, maknanya sebagai kandidat seseorang harus siap menang dan siap kalah. Jika menang jangan dihinggapi rasa jumawa, takabur, sombong. Dan seandainya kalah, harus siap merasakan sakitnya sebagai kandidat dalam mengikuti kontestasi, dengan sikap penuh hikmah dan kesabaran.
Sebagai pemilih yang berdaulat, kita boleh dan sah melakukan penilaian terhadap seorang kandidat caleg maupun paslon capres-cawapres, sebelum menentukan pilihan pada saat pemungutan suara pemilu serentak, 14 Februari 2024 mendatang. Sebagai seorang manusia, tentu saja setiap kandidat memiliki kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan, serta keunggulan dan ketertinggalan dari berbagai sisi kehidupan. Kita bebas dan merdeka menilai, apalagi jejak digital atau anecdotal record para kandidat semakin mudah ditemukan profilnya di berbagai laman media sosial dan media publik.
Editor : Iman Nurhayanto