Pak Munjirin, Kepala Kantor PWM Jateng memberikan surat dari Panitia Pemilihan Muswil di ruang kerja Ketua PWM.
"Sudah diisi saja sekarang, jangan kecewakan PDM-PDM dan Ortom yang telah mengusulkan mas Khafid," kata pak Tafsir penuh hikmah.
"Nggih pak maturnuwun. Saya istikharah dulu, masih ada waktu 2 hari sebelum penutupan" jawab saya.
Saat itu saya tidak tahu berapa PDM yang mengusulkan kecuali PDM kabupaten Magelang dan kabupaten Semarang yang konfirmasi NBM dan penulisan ejaan nama saya.
Istikharah bagi saya bermakna minta ijin dan restu ibu kandung Hj. Mubayanah. Jika ibu tidak berkenan maka akan saya tolak permintaan dari siapapun. Jangankan untuk mengikuti kontestasi menjadi PWM yang tanpa biaya, untuk menjadi Caleg/Cakada yang berbiaya politik cukup besar saya akan bersedia jika ibu mengijinkan. Bagi saya Restu dan Ijin dari Ibu adalah harga hidup.
Setelah sowan dan ibu mengijinkan, akhirnya saya mengisi kesediaan sebagai calon formatur PWM Jawa Tengah. Aneh bin ajaib, saya lolos menjadi 39 kandidat PWM pada Muspimwil. Berada pada urutan ke-15, terpaut 1 suara di bawah Prof. Dr. Zakyudin Baedhowy pada urutan ke-14. Prof Zaky : mantan Ketua DPD IMM Jateng, Gubes dan Rektor IAIN Salatiga, Penasehat LazisMu PP, bertempat tinggal di Kartasura, Sukoharjo.
Saya sebut aneh dan ajaib, karena Prof Zaky tidak hadir secara fisik di Muspimwil. Status kami berdua bukan Peserta Muspimwil dan Muswil. Sayapun tidak masuk ruangan selama Muspimwil berlangsung. Lebih banyak bercanda dan menyapa di luar arena persidangan, bersama Lukman Hakim Sekretaris LHKP. Juga menikmati durian yang dijajakan kader Kokam Jatinegara Tegal. Saya menduga ada kesalahan peserta memilih kami berdua.
Tiga kali saya silaturahmi dengan Prof Zaky, 2 kali di rumah dan sekali di Rektorat IAIN. Oh ya pernah sekali nongki hingga dini hari di angkringan dekat rumah Nurul Hawari, anggota LHKP yang tinggal se kampung dengan Prof Zaky. Waktu itu beliau sedang Siskamling dengan beberapa warga.
Editor : Iman Nurhayanto