Karena apakah semua itu? Karena apakah kita tidak mempunnyai basis riset yang kuat? Mungkinkah kita mampu, akan, dan telah mengharmonisasikan antara pergerakan dalam pembangunan berbasis riset dan ilmu pengetahuan?
Short term policy
Saya mensinyalir ada dua hal yang menyebabkan hari ini pergerakan seperti yang dikritikkan Abdurrahman Wahid: Tak mampu speak up, bersuara lantang tentang paradigma pembangunan yang benar. Dua hal yang saya maksudkan yakni antara lain, pertama adalah faktor short term policy (kebijakan yang bersifat jangka pendek). Dimana, segala keputusan berorganisasi didasarkan pada agenda singkat selama menjabat atau selama masa periodisasi. Akibatnya yang dikejar hanya isu-isu pinggiran, atau kadang-kadang menjadi cheerleader pada isu besar yang ditangani oleh organisasi lain yang lebih berpikir dan memiliki fokus jangka panjang. Para pengambil keputusan dalam organisasi kita dewasa ini tidak merancang suatu program yang sifatnya jangka panjang, yang melampaui batas-batas periodisasi dan kepentingan sektoral. Padahal diperlukan suatu waktu yang panjang, sebuah program menjadi habbit atau kebiasaan, dan kebiasaan menjadi budaya organisasi, dari sana karakter organisasi menjadi kuat.
Perlu sebuah kebesaran hati dari para pengambil keputusan di PMII untuk memilih tidak populer, menyuarakan hal-hal yang esensi, dimana jika keputusan itu dibuat, menimbulkan spillover (dampak ikutan) positif yang besar dan sustainable kemudian hari. Bukan hanya saat periode kepengurusannya saja. Seperti membangun budaya riset untuk menyuarakan paradigma pembangunan yang benar sebagaimana disebut Abdurrahman Wahid. Dalam hal ini, mungkin Mahbub tak berlebihan saat dalam bukunya yang berjudul Asal-usul mengucap sentilan, “negarawan senantiasa memandang ke 100 tahun ke depan, sedangkan politisi terbatas kepada pemilihan umum berikutnya, dengan harapan bisa terpilih lagi”.
Keberpihakan Mazhab
Kemudian penyebab kedua, yakni masalah keberanian berpihak. Keberpihakan bukan hanya alih-alih kelompok tertentu, tapi juga ideologi tertentu. PMII hari ini saya rasa telah berada dipersimpangan mazhab atau ideologi. Berada pada sikap tak yakin harus memeluk atau berpihak pada ideologi mana. Kita tentu tak boleh memaknai washatiyah (ditengah-tengah) dengan fleksibel atau—bahasa halus dari mencla-mencle—inkonsisten. Kita tak boleh berpihak pada rakyat kecil yang menggugat kemapanan feodal, tapi senang saat dipanggil ke istana untuk makan-makan dan berbicara karir pribadi bersama oligarki. Inkonsistensi ini pada gilirannya menimbulkan ketidakharmonisan antara semangat pergerakan dengan pembangunan yang berbasis riset dan ilmu pengetahuan.
Editor : Iman Nurhayanto