Dalam hal perjuangan atas tanah, pada tulisannya di Koran Kompas 18 Juni 1995 Mahbub Djunaidi sepertinya cukup tepat saat berkata “seburuk-buruk keadaan seorang pemimpin tidak akan menjual tanah airnya pada orang lain.” Lalu kata Mahbub, “Saya teringat karya Dostoevsky ‘Si Dungu’ dimana si tokoh utamanya, Myskin, berkata: ‘barangsiapa tidak memiliki tanah sendiri, berarti diapun tidak memiliki Tuhan. Ciumlah ia (tanah) sehabis-habis cium, cintailah ia sehabis-habis cinta, karena tanah itu segala-galanya.”
Tetapi haqul yaqin itu tak hadir di tanah warga Jawa Tengah dalam satu dasawarsa ini, mungkin dekade. Keyakinan yang tak tergoncangkan tak hadir saat warga Desa Wadas lahannya ditambang batu andesit untuk urugan Bendungan Bener yang terletak 10 KM dari Desa Wadas. Dengan dimensi bendungan berukuran tinggi 159 meter dan panjang timbunan 543 meter berupa tumpukan material batu andesit yang diambil dari Desa Wadas. Menurut BBWSOS (Balai Besar Wilayah Sungai Anak Serayu) sebagai pemrakarsa pembangunan Bendungan Bener menyebut material batuan andesit yang akan diambil dari desa wadas sebanyak 8.5 juta meter kubik.
Saat warga bernama Ngatinah membentuk “Wadon Wadas” sebagai gerakan perempuan menentang pengerukan material desa—yang meminjam kacamata Francouis de Eubone disebut sebagai gerakan “ekofeminisme”—saat itu dimana mahasiswa pergerakan? Saat dalam aksi warga di depan kantor Gubernur Jawa Tengah yang salah satu tuntutannya menghentikan semua aktifitas perampasan tanah dari warga, dimana pergerakan mahasiswa? Apakah mereka menunggangi isu ini untuk kepentingan eksistensi kelompok? Atau mereka melakukan riset? Saya bisa menebak dugaan pembaca.
Tentang hal tersebut Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid dalam pidato yang disampaikannya di Musyawarah Pimpinan PMII di Jakarta 1995 memang sempat mengkritik pedas, “kapankah saya bisa mendengar mahasiswa PMII itu berdebat tentang paradigma pembangunan yang benar. Kapankah dapat didengar anak-anak PMII ribut soal paradigma perubahan sosial. Seyogyanya Anda-Anda ribut, geger (berantem) tentang itu, tentang pemikiran masa depan. Ternyata kan tidak pernah? Terus terang saja, saya baru ngomong setelah menahan selama 20 tahun lihat wajah PMII yang tidak jelas itu. Saya bicara apa adanya. Dimana letakmu, letak posisimu itu dimana? Tolong rumuskan!”
Temuan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian di dalam penyusunan AMDAL (Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan) dalam pembangunan bendungan dan penambangan batu di Desa Wadas. Dimana seharusnya antara aktifitas penambangan batu andesit dan pembangunan bendungan merupakan dua dokumen terpisah. Tetapi yang terjadi dua proyek itu dipadu padankan, akibatnya dampak yang ditimbulkan pun saling tumpang tindih tidak jelas. Julian Duwi Prasetyo dari LBH Yogyakarta mengomenari bahwa UU Pengadaan Tanah dimana makna “kepentingan umum” itu dibatasi, tidak ada satu pun yang menyebutkan kepentingan umum itu termasuk pertambangan. “Anehnya di desa wadas,” kata Julian, “dijadikan wilayah pertambangan dengan mekanisme untuk kepentingan umum”. Suatu upaya manipulatif atas nama “kepentingan umum” semacam ini semestinya terang-terang ditentang, dan mati-matian di lawan. Tapi, sekali lagi, kita tak punya keyakinan yang tak tergoncangkan, dalam istilah Mahbub Djunaidi, kita tak punya riset yang meyakinkan.
Editor : Iman Nurhayanto