Mahbub Djunaidi (1991) sekiranya sempat mengingatkan kita dalam salah satu paragrafnya: “Ketahuilah olehmu setiap yang namannya ilmu—ndak kecuali pembangunan—harus siap dan rela diuji serta dipertanyakan benar atau tidaknya. Jangan kamu telan begitu saja seperti sebutir kacang. Ragu-ragu itu langkah yang mesti ditempuh jika kita mau sampai ke keyakinan yang tak tergoncangkan.”
Ada yang tak lazim dari kata-kata Mahbub, “ragu-ragu itu langkah yang mesti ditempuh…”. Saat itu orang-orang dimasanya, mengingatkan, jangan pernah ragu-ragu, atau anda akan tersesat bersama setan. Tapi kita percaya Mahbub, selain Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW. Kita percaya Mahbub mestilah menunjukkan pada sebuah jalan pergerakan yang esensi, yang menuju kepada tahapan apa yang disebutnya sebagai: “…sampai ke keyakinan yang tak tergoncangkan”. Keyakinan ini yang memungkinkan kita melakukan pergerakan melawan badai bad capitalism. Keyakinan yang tak tergoncangkan ini—dalam istilah salah seorang yang mengaku ahlussunnah—disebut dengan istilah haqul yaqin, bahwa seseorang memeluk suatu keyakinan berdasar riset dan ilmu pengetahuan, bukan taklid.
Apa gunanya haqul yaqin? Apa gunanya keyakinan yang tak tergoncangkan? Apa gunanya itu semua pada isu pergerakan dalam pembangunan? Apa relevansinya dalam diskursus pembangunan berbasis riset dan ilmu pengetahuan?
Tak jauh dari kita, 22 Oktober 1949, saat door stod Belanda 2, atau lebih dikenal Agresi Militer Belanda 2 berkecamuk di Surabaya, fatwa Kiyai Hasyim Asy’ari, yang kemudian disebut resolusi jihad, meyakinkan kaum santri, Soekarno dan segenap tokoh pergerakan Islam, bahwa keyakinan yang berdasarkan epistemologi, ontologi, dan axiologi memberikan energi yang besar, keyakinan bahwa kita di jalan “kebenaran” memunculkan keberanian untuk mati. Bahwa membela tanah air, bukan membela agama, bukan membela Allah, hukumnya fardlu ‘ain bagi setiap Muslim. Kematian yang diakibatkan karena upayanya memperjuangkan kemerdekaan tanah air, sama dengan jihad, sama dengan syahid. Implikasi rumusan fatwa ini mengundang 20.000 santri bertempur habis-habisan di Surabaya dengan keyakinan yang tak tergoncangkan mereka gugur sebagai syuhada.
Editor : Iman Nurhayanto