Pementasan di Pendopo Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah itu diawali dengan pembacaan puisi oleh Gus Iang tentang cinta Rahwana kepada Shinta yang berujung pada peperangan.
Selanjutnya pementasan kesenian Aksi Muda, yang merupakan kesenian khas banyumasan asal daerah Kecamatan Cilongok, Banyumas. Kesenian yang dimainkan oleh sekelompok penari laki-laki itu memukau penonton, diiringi dengan musik tradisional. Bukan hanya tariaannya yang unik, tetapi kostum pemainnya juga menarik lengkap dengan kaca mata hitam.
Yang tak kalah menariknya adalah pementasan Seni Begalan, warisan budaya non benda banyumasan ini pada awalnya sering ditemui pada prosesi pernikahan di Banyumas. Konon, tradisi begalan pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat pada tahun 1850 atau di era pemerintahan Bupati Banyumas XIV, Raden Adipati Tjokronegoro.
Kesenian ini diawali oleh pembacaan sholawat bersama sambil diiringi oleh rebana dan kendang. Kesenian ini dipimpin seorang pendekar yang menguasai betul tentang gerakan pencak silat, tenaga dalam, magic, tarian, ketukan musik dan keselarasannya. Selain sebagai hiburan yang atraktif, kesenian ini mengandung berbagai makna dalam setiap lagu dan gerakannya.
Malam itu, masyarakat pecinta seni budaya khas banyumasan benar-benar dimanjakan dengan berbagai pentas seni, setelah sekian lama terpuruk akibat pandemi Covid-19. Hal itu terasa, usai pementasan Seni Begalan dilanjutkan dengan pentas Macapat "Babat Pasir Luhur," yang ternyata penonton masih tetap antusias menyimak bait-demi bait lantunan geguritan Jawa Banyumasan tersebut.
Sebagai penutup acara, dipentaskan pertunjukan Wayang Jemblung dengan 5 orang dalang, yang bertindak sebagai dalang sekaligus sebagai wayang, pemusik, dan sindhen, yang berinteraksi dengan penonton. Pementasan tidak diiringi menggunakan alat musik gamelan seperti pada sajian wayang pada umumnya, tapi musik iringannya dilantunkan dengan mulut yang mengeluarkan bunyi-bunyian meniru suara gamelan.
Editor : Iman Nurhayanto