Pasal 2 ayat (5) UU No 2/2008 secara eksplisit mengharuskan partai politik menempatkan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan partai. Sedang untuk mempertegas kuota 30% perempuan, Pasal 55 ayat (2) UU No. 10/2008 mengadopsi susunan daftar calon model zipper yang dimodifikasi: dalam setiap tiga calon, sediktinya terdapat satu calon perempuan. Hasilnya Pemilu 2009, menunjukkan keterwakilan perempuan sebesar 18 persen atau 101 orang, Pemilu 2014 mencapai 14,32 persen atau sebanyak 97 orang, dan Pemilu 2019 mencapai 20,5 persen atau 118 orang (Kompas.com, 26/07/2019).
Melalui Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dalam Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958 (UU Hak Politik Perempuan) dan Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 (UU Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women/CEDAW), sejatinya merupakan jaminan perlindungan konstitusional terhadap kaum perempuan yang merupakan derivasi dari pasal 27 ayat (1) dan pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan poerlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dalam konteks norma ini, kaum perempuan dikontruksikan sebagai pihak yang berhak untuk menerima perlakuan khusus agar mencapai persamaan dan keadilan dalam bidang politik, khususnya meningkatkan keterwakilan kaum perempuan sebagi anggota DPR.
Minimnya jumlah keterwakilan perempuan di DPR tentu tidak lagi dapat dilihat bahwa kedudukan kaum perempuan dan laki-laki harus didudukan setara dalam bidang politik, melainkan harus diupayakan tindakan afirmatif (Affirmative Action) yang bersifat khusus kepada kaum perempuan sehingga kedudukanya dapat disetarakan dengan laki-laki.
Imbas PKPU No. 10 Tahun 2023
Menurut perhitungan Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, ketentuan pembulatan kebawah ini akan membuat keterwakilan perempuan tak mencapai 30% didapil dengan jumlah kursi 4,7,8 dan 11. Dari total Dapil DPR RI sebanyak 84 dapil, berdasarkan simulasi ketentuan pembulatan kebawah ini akan berdampak terhadap 38 Dapil DPR RI. Artinya jumlah caleg perempuan akan berkurang 38 orang dalam satu partai. Jika dikalikan dengan 18 Partai politik peserta Pemilu 2024, maka caleg perempuan akan berkurang 684 orang. Jumlah angka yang cukup besar bagi kesempatan perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik khususnya sebagai Caleg Legislatif di Pemilu 2024.
Dari hal tersebut pembuat undang-undang dan KPU RI sebagai pelaksana dan penyelenggara Pemilu seakan abai dengan lintasan perjuangan perempuan untuk dapat terlibat aktif dalam kontestasi politik melalui Afirmasi 30% keterwakilan perempuan dan menghianati Undang-undang Pemilu no. 17 tahun 2017 pasal 245 yang menyatakan Daftar Bakal Calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Oleh Karenanya, Bawaslu dapat menerbitkan rekomendasi agar KPU harus menjalankan amanat rundang-undang yang menjamin keterwakilan perempuan sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD. Apabila KPU mengabaiakn rekomendasi Bawaslu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 76 Ayat (2) UU Pemilu, Bawaslu diberi Hak Hukum untuk mengajukan Permohonan Pengujian Material kepada Mahkamah Agung.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait