Sejak Pemilu 1987, persentase perempuan di DPR tidak pernah turun dari dua digit: 1987 (13,0%), 1992 (12,5%), dan 1997 (10,8%). Namun persentase perempuan di DPR hasil Pemilu 1999 hanya 9,0%.Keadaan itulah yang mendorong organisasi-organisasi perempuan melancarkan gerakan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmasi (affirmative action) dalam bentuk kuota 30% perempuan dalam pemilu demokratis. Sebab, berdasarkan pengalaman banyak negara penerapan kebijakan afirmasi dalam sistem pemilu, terbukti berhasil signifikan meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.
Buah perjuangan itu terlihat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU No. 31/2002) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 12/2003).
Pasal 13 ayat (3) UU No. 31/2002 mengintroduksi perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai, dan Pasal 65 ayat (1) UU No. 12/2003 untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif.
Setelah dipraktekkan melalui Pemilu Legisaltif 2004, ketentuan undang-undang pemilu itu berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Jika jumlah anggota perempuan DPR hasil Pemilu 1999 adalah 45 orang atau 9% dari 500 anggota, maka hasil Pemilu 2004 jumlahnya meningkat menjadi 61 orang atau 11% dari 550 anggota DPR.
Pada Pemilu Legisaltif 2009, pada saat DPR dan pemerintah menyusun undang-undang politik baru, organisasi-organisasi perempuan kembali berjuang dengan target agar formulasi kebijakan afirmasi kuota 30% perempuan di undang-undang lebih kongkrit dan lebih menguntungkan perempuan.
Sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU No. 2/2008) dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (UU No. 10/2008).
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait