JAKARTA, iNewsJatenginfo.id – Kisah Laksamana Cheng Ho menarik diulas. Cheng Ho terkenal sebagai penjelajah asal China di Nusantara yang memeluk agama Islam.
Dia memulai ekspedisi ke berbagai negara pada awal abad 15 di masa pemerintahan Kaisar Yung-lo dari Rajakula Ming.
Saat itu Cheng Ho menemukan banyak pedagang China di berbagai pelabuhan yang disinggahinya di Asia Tenggara. Selain berdagang, konon Cheng Ho juga berhasil membebaskan beberapa wilayah-wilayah di Palembang dan Nusantara dari perampok-perampok Hokkian.
Di sanalah dia kemudian membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang pertama di Nusantara. Cheng Ho juga lantas membentuk komunitas masyarakat Tionghoa di Sambas.
Dikutip dari "Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" dari sejarawan Prof Slamet Muljana, menunjukkan sebelum ekspedisi kaisar Yung-lo yang dipimpin Cheng Ho sudah berada di Palembang dan Sambas. Di sana sudah ada orang-orang keturunan Tionghoa yang menetap.
Pada tahun 1405, Laksamana Cheng Ho bertemu dengan Sultan Samudera Pasai Zainal Abidin Bahian Syah. Kedatangan Cheng Ho di Samudera Pasai untuk mengadakan hubungan politik dan dagang.
Nama Zainal Abidin Bahian Syah juga disebut dalam kronik Tionghoa dari zaman pemerintahan rajakula Ming, dengan bunyi Tsai Nu Lia Pie Ting Kie. Yang menarik perhatian adalah setelah ada hubungan baik antara Tiongkok dan Samudera Pasai makin banyaklah saudagar-saudagar Tionghoa datang ke Pasai.
Di saat itulah semakin banyak pula orang-orang Tionghoa yang memeluk agama Islam, kawin dengan perempuan setempat dan menetap di sana, sehingga bertambahlah percampuran darah dari keturunan Tionghoa.
Keturunannya terdapat di perkampungan-perkampungan mereka daerah Kroceng Pirak, Sungai Perak dekat Lho Sukon.
Memang sebelum abad ke-19, imigran China hanya terdiri atas laki-laki saja. Di tempat-tempat baru yang mereka datangi, imigran China itu lalu kawin dengan perempuan setempat atau wanita China peranakan.
Barulah migrasi perempuan Tionghoa ke Asia Tenggara mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Imigrasi perempuan Tionghoa itu bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan rendahnya biaya pengangkutan. Sejak itu, imigrasi orang-orang Tionghoa laki-laki dan perempuan meningkat sekali.
Editor : Iman Nurhayanto