Komunitas politik bisa berupa kelompok kepentingan, partai politik maupun pressure group yang memiliki identitas politik tertentu. Komunitas sosial bisa berlatar belakang profesi, status sosial, daerah, budaya, SARA (Suku, Agama, Ras), ideologi, madzab, ekonomi dan perikatan sosial lain yang memiliki identias sosial tertentu. Termasuk oligarkhi korporasi asing, korporasi dalam negeri dan kompeni (company).
Saya mengingatkan diri sendiri dan masyarakat bahwa sebagai anak bangsa kita juga memiliki identitas kebangsaan dan kenegaraan yang sudah kita sepakati sejak Republik ini lahir. Sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Sebuah negara hasil kesepakatan dan komitmen para pendiri bangsa Indonesia yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologi berbangsa dan bernegara. Sebuah NKRI yang tunduk pada UUD 1945 sebagai konstitusi negara; Bhinneka Tunggal Ika : persatuan dalam keragaman suku, agama, rasbdan budaya; Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan; serta Merah Putih sebagai bendera negara. Semua "identitas" tersebut wajib kita jaga bersama.
Politik identitas dan identitas politik memang sebuah fakta yang terlihat dalam kehidupan kebangsaan kita. Narasi-narasi yang muncul sejak Orla, Orba, Orde Reformasi hingga "Orde Baru-Baru ini" bisa kita baca pada setiap perhelatan pesta demokrasi : pileg, pilpres dan pilkada. Misalnya narasi pada spanduk, baliho atau iklan kampanye "Nasionalis-Religius/Agamis" yang seakan mempertentangkan identitas "nasionalis" dengan "religiusitas/agama" seorang atau sekelompok orang. Atau tagline _"Pribumi-Nonpri", "Putra Daerah vs Pendatang", "Kampret-Cebong-Kadrun", dan sebagainya.
Sudah saatnya kita hadirkan bersama demokrasi yang substansif, pemilu yang berkemajuan. Sebuah pesta demokrasi yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, gotong-royong, hikmah dan kebijaksanaan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai perbedaan identitas politik menjadikan kita terpecah belah, tidak mampu bersatu sebagai seorang negarawan. Apalagi batal melakukan pernikahan atau besanan hanya karena perbedaan parpol dan berbeda pilihan calon presiden, caleg dan calon kepala daerah pada pemilu serentak 2024.
Wallahua'lam
Pekalongan, Malming 3 Desember 2022.
Editor : Iman Nurhayanto