Kami memiliki 4 anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Sejak kanak- kanak setiap anak memiliki "identitas" sendiri. Yang jelas berbeda adalah identitas nama dan nama panggilan. Coba kalo semua anak diberi nama sama, apa tidak bingung ketika kami memanggil satu nama tetapi keempat anak datang semua.
Perbedaan atau keragaman berikutnya adalah golongan darah. Golongan darah saya B, sementara istri A. Maka anak-anak kami ada yang bergolongan darah B, A dan AB. Untungnya golongan darah manusia hanya ada 4 yaitu A, B, AB dan O. Coba kalo ada golongan darah AO, malah dikiranya nanti "merk" suatu produk minuman beralkohol.
Perbedaan identitas fisik juga ada. Ada anak yang rambutnya seperti bapaknya dan ada yang seperti ibunya. Ada yang memiliki lesung pipi kanan, pipi kiri dan kedua pipi. Begitu juga dengan perbedaan bentuk raut muka, alis mata, warna kulit, jari jemari, letak "toh" (tanda lahir), "andeng-andeng" (tahi lalat) dan sebagainya.
Pepatah Jawa mengatakan "beda kulit beda anggit" (berbeda kulit, berbeda, pikiran). Justru adanya beragam perbedaan sidik jari dan retina mata setiap anak manusia menjadi bermakna dan berguna bagi pengembangan iptek untuk mengetahui identitas seseorang. Sebab "garis tangan" setiap orang berbeda.
Tuhan Maha Adil dan Maha Teliti. Selain perbedaan yang ada, juga diberi "persamaan" didalam tubuh anak manusia. Yaitu DNA (deoxyribonucleid acid) dan RNA (ribonucleic acid). DNA dan RNA merupakan molekul yang paling penting dalam biologi sel. Keduanya bertanggungjawab untuk penyimpanan dan pembacaan informasi genetik dalam semua kehidupan makhluk hidup : manusia, hewan, tanaman, bakteri dan virus.
Dengan informasi DNA/RNA kita dapat mengidentifikasi mayat korban bencana alam, kecelakaan dan pembunuhan yang tidak ditemukan "identitas diri" (pakaian, KTP, SIM, cincin) apapun. DNA/RNA adalah "identitas dari Tuhan" yang melekat pada setiap insan makhluk hidup ciptaan-Nya.
Identitas Manusia
Sejak awal mula penciptaan manusia--Adam dan Hawa--oleh Allah telah memberikan identitas yang berbeda dengan malaikat dan iblis. Berbeda bahan baku, bentuk, sifat dan gugus tugas yang diembannya. Dari sepasang manusia "asabiqul awwalun" tersebut lahirlah Qabil dan Habil, kemudian berkembang menjadi anak, cucu, buyut hingga tersebar ke seluruh benua dan mengisi semua tempat di bumi. Perbedaan "identitas" : rasa syukur, rasa keadilan, tingkat pengendalian diri, emosi jiwa diantara keduanya telah membawa "kejahatan kemanusiaan" pertama kali berupa pembunuhan saudara kandung.
Anak keturunan Adam dan Hawa terus berkembang mengisi ruang-ruang di seluruh bumi. Beranak pinak hingga membentuk kelompok- kelompok identitas berupa : suku, ras, bangsa dan negara. Juga membentuk identitas kepercayaan, keyakinan, peradaban, kebudayaan dan agama. Bukankah keragaman umat manusia merupakan rahmat Tuhan semesta alam?
Untuk mendukung kelangsungan hidup manusia di bumi, Allah Swt memberinya "hidayah" berupa hidayah ilhami (insting), hawasi (indera), aqli (akal), dien (agama) dan taufiq (taufik). Dengan hidayah ilhami dan hawasi, manusia mampu bertahan hidup di segala situasi dan kondisi alam yang dihadapinya : musim, iklim, cuaca, aneka tanaman dan hewan, sumber pangan (makanan, minuman), herbal dan obat-obatan. Dengan hidayah akal manusia dapat melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan kehidupannya. Manusiapun mampu mendarat di bulan dan planet Mars.
Namun Allah Sang Pencipta juga mengetahui kekurangan manusia yang suka berkeluh kesah, gemar mengeluh, serakah dan bakhil, serta "lali weton" (kufur nikmat). Maka diutuslah Nabi dan Rasul pembawa risalah agama agar kehidupan manusia menjadi terarah. Hidayah agama dan hidayah taufik adalah wujud Maha Rahman Rahim Allah kepada semua manusia agar bisa menjaga keseimbangan lahir-batin, duniawi-ukhrowi, jiwa-raga bagi keberlangsungan kehidupan yang baik sesuai Sunatullah-Nya. Menjalani hubungan yang adil dan seimbang : hablu-mina-Allah, hablu-mina-nas dan hablu- minal alam.
Keragaman atau perbedaan identitas adalah fitrah manusia. Sebagaimana Allah berfirman :
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya kamu saling kenal-mengenal" (Qs. Al-Hujurat : 13).
Pepatah mengatakan "tak kenal maka tak sayang".
Maknanya jika kita tidak "ta'aruf" (saling mengenal sesama), maka kita tidak akan bisa "tafahum" (saling memahami). Manakala tidak saling memahami, maka kita tak akan bisa "ta'awun" (melakukan kerjasama/bersinergi) dan "takaful" (saling melindungi/tolong menolong). Semua proses tersebut harus dijalani dengan landasan ketulusan. Sebab ketulusan itu bahasa yang bisa dimengerti bayi, bisa dilihat orang buta dan didengar orang tuli.
Identitas Politik vs Politik Identitas
Identitas artinya tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sekelompok orang. Suatu "ciri khas" yang membedakannya dengan orang/kelompok lain. Identitas seseorang bisa berubah atau berkembang. Sejalan dengan perkembangan kepribadian seseorang (internal) maupun perubahan lingkungan yang melingkupi kehidupannya (eksternal).
Berdasarkan literasi ilmu politik, politik identitas (political of identity) berbeda jauh dengan identitas politik (political identity). Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subyek di dalam suatu ikatan komunitas politik. Sedangkan politik identitas mengacu pada mekanisme pengorganisasian identitas politik dan identitas sosial sebagai sumber dan sarana politik.
Komunitas politik bisa berupa kelompok kepentingan, partai politik maupun pressure group yang memiliki identitas politik tertentu. Komunitas sosial bisa berlatar belakang profesi, status sosial, daerah, budaya, SARA (Suku, Agama, Ras), ideologi, madzab, ekonomi dan perikatan sosial lain yang memiliki identias sosial tertentu. Termasuk oligarkhi korporasi asing, korporasi dalam negeri dan kompeni (company).
Saya mengingatkan diri sendiri dan masyarakat bahwa sebagai anak bangsa kita juga memiliki identitas kebangsaan dan kenegaraan yang sudah kita sepakati sejak Republik ini lahir. Sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Sebuah negara hasil kesepakatan dan komitmen para pendiri bangsa Indonesia yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologi berbangsa dan bernegara. Sebuah NKRI yang tunduk pada UUD 1945 sebagai konstitusi negara; Bhinneka Tunggal Ika : persatuan dalam keragaman suku, agama, rasbdan budaya; Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan; serta Merah Putih sebagai bendera negara. Semua "identitas" tersebut wajib kita jaga bersama.
Politik identitas dan identitas politik memang sebuah fakta yang terlihat dalam kehidupan kebangsaan kita. Narasi-narasi yang muncul sejak Orla, Orba, Orde Reformasi hingga "Orde Baru-Baru ini" bisa kita baca pada setiap perhelatan pesta demokrasi : pileg, pilpres dan pilkada. Misalnya narasi pada spanduk, baliho atau iklan kampanye "Nasionalis-Religius/Agamis" yang seakan mempertentangkan identitas "nasionalis" dengan "religiusitas/agama" seorang atau sekelompok orang. Atau tagline _"Pribumi-Nonpri", "Putra Daerah vs Pendatang", "Kampret-Cebong-Kadrun", dan sebagainya.
Sudah saatnya kita hadirkan bersama demokrasi yang substansif, pemilu yang berkemajuan. Sebuah pesta demokrasi yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, gotong-royong, hikmah dan kebijaksanaan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai perbedaan identitas politik menjadikan kita terpecah belah, tidak mampu bersatu sebagai seorang negarawan. Apalagi batal melakukan pernikahan atau besanan hanya karena perbedaan parpol dan berbeda pilihan calon presiden, caleg dan calon kepala daerah pada pemilu serentak 2024.
Wallahua'lam
Pekalongan, Malming 3 Desember 2022.
Editor : Iman Nurhayanto