Wijayanto, Juga Direktur Pusat Media dan Demokrasi di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) menyampaikan perihal jurnalisme damai di tengah gempuran propaganda buzzer politik.
"Informasi yang benar dalam negara yang demokratis itu laksana oksigen buat demokrasi, sedangkan informasi yang salah bagaikan karbon dioksida atau bahkan gas beracun untuk demokrasi. Karena dalam suatu negara demokrasi, warga negara menganut pilihan politik berdasarkan informasi yang mereka terima, sementara informasi saat ini lebih sering didapat melalui ruang publik yakni internet," jelasnya.
"Ditengah polarisasi politik yang nyata, jurnalisme positif sangat penting. Jangan sampai media ikut terpolarisasi. Reporter membuat pilihan mengenai apa yang akan dilaporkan dan bagaimana melaporkannya yang menciptakan kesempatan pada masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menilai tanggapan non kekerasan terhadap konflik. Jadi kalau media ikut-ikutan menggunakan kata-kata yang biasanya digunakan buzzer tanpa sadar media melestarikan budaya kekerasan verbal," tambahnya.
"Ada 7 karakteristik jurnalisme damai. Pertama, memandang pertikaian maupun konflik sebagai masalah yang harus segera diatasi, kemudian pemberitaan nya harus selalu mencari tau asal usul konflik dan penyelesaiannnya, didasarkan pada pendekatan penanganan, melihat kejadian dengan lebih luas, seimbang, dan akurat, pemilihan judul, diksi, konten berita tidak menimbulkan konflik dan ambigu, isi konten berita tidak menyembunnyikan fakta," pungkasnya.
Sebagai informasi pada tanggal 27 dan 28 Agustus akan diadakan kegiatan puncak acara diskusi IJTI di Universitas Muria Kudus. Serta IJTI Bersholawat di bulan September.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait