"Jurnalisme positif ini sebenarnya sesuatu yang biasa, hanya mengikuti kaidah atau tidak melanggar kode etik jurnalistik. Tetapi jurnalisme positif ini sebagai lawan adanya jurnalisme negatif. Kalau pada masa lalu bad news is good news, berita buruk adalah berita baik. Jadi, terkadang bukan karena tidak mau meliput, tetapi memang kebijakan dari newsroom nya. Kemudian dikembangkan lagi menjadi good news is good news, berita baik adalah berita," jelas Teguh.
"Jadi bagaimana jurnalisme positif itu bukan hanya objektif dan menjunjung tinggi kemanusiaan, tetapi juga membangun optimisme. Dalam konteks pemilu, berbagai masalah terkait terjadinya pelanggaran dan sebagainya semestinya cukup selesai di pelaku. Tetapi kadangkala masih dikulik sedalam - dalamnya hingga keluarganya. Itu yang akan menciderai rasa kemanusiaan," tegasnya.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Jateng Fuad Hidayat menuturkan bagaimana wawasan kebangsaan dalam perspektif pencegahan dan penangangan konflik politik di masyarakat.
"DPRD Provinsi Jateng berharap tahun 2019 kemarin merupakan puncak dari buruknya penyebaran berita hoaks, yang pelakunya kebanyakan dari pengguna media sosial. Kami merasa keberadaan media mainstream sangat penting untuk membangun kembali komunikasi publik yang selama ini lebih berbasis pada media sosial. Karena memang media mainstream ini jauh lebih bisa di pertanggungjawabkan dan lebih sehat," ujar Fuad.
"Berkaitan dengan konflik sosial dan politik, Jateng relatif stabil. Komisi A DPRD Jateng sedang menginisiasi Perda tentang penanganan konflik yang merupakan turunan dari UU No. 7 Tahun 2012. Kami mendorong Perda yang disusun di Jateng ini nanti ada lampiran Perbup yang tersusun secara metodologis dan secara akademis sehingga ada road map penangan konflik di Jateng. Kami mohon rekan-rekan media dan perguruan tinggi bisa berdiskusi bersama perihal itu," katanya.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait