Bakda Sholat Jumat, saya berdua dengan istri berangkat menuju Solo, setelah sebelumnya pamit ke Ibu saya, Hj. Mubayanah (82 tahun). Beliau salah satu imam mushola putri 'Aisyiyah di kampung Kedonsari, desa Penyangkringan, kecamatan Weleri, kabupaten Kendal. Kampung episentrum gerakan Muhammadiyah di kecamatan Weleri. Baru kali ini ibu saya absen sebagai penggembira Muktamar ke-48 di Solo karena alasan kesehatan.
Masyarakat Weleri mengenal Kedonsari sebagai "Kampung Solo". Karena penduduknya sebagian besar "singkek" (pendatang) dari daerah Solo dan sekitarnya. Terutama berasal dari kabupaten Klaten, yang sebagian besar berprofesi pedagang di Pasar Weleri. Sebagian lainnya berasal dari Sukoharjo dan Wonogiri, disamping penduduk asli.
Di kampung Solo inilah Muhammadiyah telah hadir sejak era 1960-an. Tidak tahu persis kapan waktunya, yang jelas tahun 1974 saya sudah sekolah di TK ABA dan tahun 1975 masuk kelas 1 MI Muhammadiyah "Klenteng". Disebut MI klenteng karena lokasinya persis berhadapan dengan Klenteng Weleri. Maka menjadi wajar jika Sekretaris PCM Weleri pertama, seorang muslim Tionghwa.
Bapelurzam (Badan Pelaksana Urusan Zakat Muhammadiyah) Weleri pertama hadir tahun 1979 (59 orang muzakki), dimana hampir sebagian besar (90%) muzakki warga kampung Solo. Sependek pengetahuan saya, Bapelurzam merupakan institusionalisasi gerakan zakat pertama kali di Muhammadiyah. Konseptor, aplikator sekaligus motivator gerakan zakat yang diinisiasi oleh KH Abdul Barie Shoim. Sebagaimana tertera dalam buku "Zakat Kita, Zakat yang Direalisasikan". (PCM Weleri, 1978).
Bapelurzam lahir jauh sebelum LazisMu, LazisNU, Baznas dan berbagai Lembaga Pengelola ZIS lain, sebagaimana diatur dalam UU Zakat. Sebuah gerakan membumikan Rukun Islam ke-3 (zakat), yang benar- benar tumbuh dari kesadaran umat di tingkat bawah. Saya menyaksikan bagaimana semangat umat di akar rumput dalam membayar zakat, punya semangat yang sama sebagaimana umat menjalankan ibadah sholat, puasa dan haji.
Semangat yang masih terjaga hingga sekarang. Setidaknya terlihat dari besarnya angka perolehan zakat di Ranting Penyangkringan yang mencapai Rp 1 Milyar setahun. Kalo soal Infaq, Sedekah, Hibah dan Wakaf boleh dikatakan tidak pernah tercatat di Bapelurzam (sekarang LazisMu). Bagi umat, zakat hukumnya "fardhu", sedangkan infaq, sedekah, hibah dan wakaf bukan bagian dari Rukun Islam dan hukumnya "sunah muakad".
Penggembira Muktamar
Warga persyarikatan di kampung kami, hampir selalu berbondong-bondong hadir sebagai penggembira muktamar di manapun diselenggarakan. Muktamar di Aceh dan Makasar misalnya, sebanyak 1-2 bus (50-100 orang) ikut hadir. Terkadang saya bertanya, apa yang mereka harapkan dan peroleh sebagai penggembira.
Mereka bukan peserta yang memiliki hak suara atau peninjau yang memiliki hak bicara di forum. Mereka bukan kandidat pimpinan yang dicalonkan untuk mengikuti kontestasi muktamar. Mereka rela mengorbankan pikiran, waktu, tenaga, doa bahkan harta yang cukup besar demi syiar Muhammadiyah. Mereka tidak pernah kenal siapa kandidat Pimpinan Pusat terkuat.
Disinilah saya melihat hebatnya anggota/warga persyarikatan yang hadir sejak 1912 dan tetap eksis sepanjang jaman. Saya menduga bahwa kekuatan Muhammadiyah berasal dari ketulusan dan semangat warganya dalam menegakkan Rukun Iman serta menunaikan Rukun Islam. Mereka tidak "itung-itungan" (berhitung untung-rugi) dalam berjamaah, berjamiyyah dan membangun Amal Usaha Muhammadiyah.
Di sepanjang jalan tol Trans-Jawa, sejak masuk gerbang tol Weleri KM-384 hingga exit tol Bandara Adi Sumarmo di Solo KM-498, kami melihat banyak rombongan bus penggembira menuju Solo. Juga terlihat beberapa kafilah menggunakan minibus sedang istirahat atau mengisi BBM di rest area Ungaran.
Setelah mengunjungi ratusan stand pameran di kawasan Tjolomadoe Heritage (ada 900-an stand), kami menuju Edutorium yang malam ini ada pagelaran musik untuk menghibur para penggembira muktamar. Tetapi kami gagal merapat karena tidak adanya area parkir. Kanan kiri jalan raya sekitar Edutorium penuh bus dan mobil parkir.
Kami lanjutkan perjalanan menuju stadion Manahan yang besok pagi dipakai buat upacara pembukaan Muktamar Muhammadiyah dan 'Aisyiyah ke-48. Semua hotel di Solo dan Solo Baru Sukoharjo penuh. Setidaknya terlihat dari seluruh aplikasi penyedia jasa perhotelan dan akomodasi secara on-line.
Hujan yang mereda kembali turun cukup deras. Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kami berteduh sejenak di teras resto Ikan Bakar Cianjur sambil memarkir mobil di depannya. Belum habis separo batang Djie-sam-soe sekedar untuk menghangatkan badan, tiba-tiba ada seorang bapak boncengan motor dengan seorang putri ikut berteduh.
"Monggo pak, motore paringke mriki kersane mboten kudanan" (Mari pak, silakan motornya diparkir disini biar tidak kena air hujan), sapa saya.
"Nggih mas, maturnuwun" jawabnya sambil melepas helm. Beliau berdua memakai jaket tanpa jas hujan.
"Nuwunsewu panjenengan saking pundi, badhe tindak pundi" (Maaf bapak darimana dan mau kemana), tanya saya.
"Kulo Zen, niki putu kulo. Asli kulo Ngaren, Ngadirejo, Temanggung"(Saya Zen, ini cucu saya. Berasal dari Ngaren, Ngadirejo, Temanggung), jawab pak Zen mengenalkan diri.
"Mas benjang pembukaan Muktamar wonten pundi" (Mas besok pembukaan muktamar dimana?), tanya pak Zen.
"Upacara pembukaan di stadion Manahan ngajeng mriku" (pembukaan muktamar di stadion Manahan depan itu), jawab saya sambil menunjukkan arah.
"Alhamdulillah mandar caket" (Alhamdulillah malahan dekat) pujinya.
Dari obrolan sambil menunggu hujan reda, saya menjadi tahu bahwa pak Zen datang ke Solo bersama cucunya (Anisa) yang masih sekolah kelas 3 di SMP Muhammadiyah Ngadirejo. Berangkat jam 10.00 pagi dengan mengambil rute Ngadirejo-Temanggung-Secang-Magelang-Jogja-Prambanan-Klaten-Solo (kl 160 km). Mereka berdua bersepeda motor tanpa jaket hujan. Berdua hadir di Solo hanya ingin menyaksikan Muktamar Muhammadiyah ke-48 sebagai penggembira.
Saya yakin mereka berdua tidak ada agenda dan tujuan khusus ke Solo, kecuali ingin sekedar menyaksikan, mensyiarkan dan "handarbeni" (rasa memiliki, merasakan kegembiraan) bisa bertemu sesama warga Muhammadiyah dari berbagai daerah dan wilayah. Saya yakin banyak mbah Zen-mbah Zen lain yang rela datang ke Solo dengan penuh perjuangan dan ketulusan.
Hujan belum reda saat melihat jam tangan menunjukkan waktu 00.05 WIB. Saya tunjukkan tempat transit yang dekat dan bisa menampung mereka berdua sebagai penggembira. Saya haturkan logistik yang diambil dari mobil sambil salaman pamit undur diri.
"Ngapunten mbah, kulo pamit rumiyin. Mugi Gusti Allah paring sehat, kuat lan slamet dumugi kondur nggriyo" (Mohon maaf mbah, saya pamit dulu. Semoga Allah memberi kesehatan, kekuatan dan keselamatan sampai pulang ke rumah).
"Mugi-mugi jawahe enggal terang, panjenengan saged istirahat wonten mriko" (Semoga hujan segera reda, anda berdua bisa istirahat di tempat transit), ucap saya.
Dalam perjalanan menuju penginapan di Kartasura, saya berdoa lirih dalam lubuk hati, semoga para penggembira muktamar diberi keselamatan, kesehatan, kegembiraan dalam bermuhammadiyah. Rasanya malu jika pagi nanti, kami bisa masuk stadion menyaksikan upacara pembukaan muktamar oleh Presiden Joko Widodo, sementara mbah Zen dan ratusan ribu penggembira lain hanya bisa menyaksikan dari layar di luar stadion.
Dan rasanya menjadi pimpinan Muhammadiyah itu tidak mudah. Selain dituntut memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh dan fathonah, juga harus sudah selesai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Menjadi pimpinan maknanya harus bisa meringankan beban persyarikatan dan umat. Bukan sebaliknya, malah menjadi *beban tidak ringan* bagi umat dan Muhammadiyah.
Pimpinan Muhammadiyah harus "bener, pener, kober lan pinter" (benar, baik/shalih, sempat dan pandai/berilmu). Pimpinan musti mampu berbuat adil dan tidak dzalim; beradab dan tidak biadab; penuh hikmah dan tidak serakah (harta, pangkat dan jabatan); memiliki keshalihan sosial dan tidak hanya mengejar keshalihan personal.
Semoga peserta Muktamar mampu memilih 13 Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terbaik di jamannya. Dengan selalu mengharap ridha dan rahmat Allah Tuhan Sekalian Alam. Ingatlah bahwa terpilihnya seseorang menjadi pimpinan persyarikatan, tidak hanya ditentukan oleh banyaknya peserta yang memilih nama kita, tetapi juga ditentukan oleh ketulusan doa dan laku sosial jutaan penggembira yang hadir di forum Muktamar.
Wallahua'lam
Solo, Dinihari : 19 November 2022
Ketua LHKP-PWM Jateng
Editor : Iman Nurhayanto