Narasumber lain pada kegiatan itu, Joko Tri Harmanto alias Jack Harun, mantan narapidana terorisme (napiter), menyebut untuk membendung radikalisme dan terorisme semua komponen harus bersama-sama, mulai dari pemerintahan, dunia pendidikan hingga masyarakat.
“Orang-orangnya kalau diciduk (ditangkap) mudah, tapi membendung pahamnya itu yang sulit. Kalau dikuatkan masyarakatnya, dari RT sampai kelurahan, maka masyarakatnya jadi cerdas dengan begitu paham-paham seperti itu akan tertolak dengan sendirinya,” katanya.
Kepala Badan Kesbangpol Jateng Haerudin, memaparkan radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki secara cepat perubahan sosial dan politik.
Tingkatannya mulai dari paham atau aliran, sikap hingga melakukan tindakan perlawanan dengan kekerasan untuk tujuan secara cepat tadi.
“Sebenarnya bukan untuk agama, tetapi menggunakan siasat agama,” kata Haerudin.
Dia mengakui, butuh peran dari instansi terkait, termasuk sekolah-sekolah hingga masyarakat luas untuk bersama-sama mencari solusi persoalan ini.
“Data masih kesulitan (konteks pendidikan), berapa sih siswa yang sudah terpapar radikal, terorisme, intoleransi. Datanya itu dinamis sekali, apalagi (mungkin) di Jawa Tengah ini,” katanya.
Sutradara film Seeking The Imam, Rahmat Triguna alias Mamato, menyebut dirinya terketuk membuat film dokumenter itu karena terketuk melihat fenomena itu.
“Selain soal gadget, media sosial dan anak muda, tapi juga refleksi bagi saya sendiri sebagai seorang ayah,” kata Mamato. Terkait film tersebut, Mamato menyebut perlu waktu hingga 2 tahun untuk menyelesaikan semuanya.
“Dhania kooperatif sekali dengan kami selama proses produksi. Sekarang dia (Dhania) berkontribusi di ruangobrol.id,” ujarnya.
Pada kegiatan yang berlangsung sekira 3 jam itu, ada beberapa sesi tanya jawab dengan audiens.
Rata-rata mereka bertanya soal tepat atau tidak ketika menumpahkan curahan hati (curhat) di media sosial hingga mengiyakan bahwa di dunia digital informasi begitu padat.
Editor : Iman Nurhayanto