Sejak pasar Weleri terbakar, 4.000 orang lebih pekerja sektor informal dan formal menjadi pengangguran.
Belum terhitung berapa nasabah bank dan kospin yang berhenti menabung dan meminjam uang. Juga potensi ZIS yang menurun dari para pedagang yang terbiasa menunaikan kewajiban agama melalui LAZISMu dan LAZISNU.
Ketiga, sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar bagi Pemda, berasal dari retribusi, biaya sewa kios/loos, parkir dan pajak daerah lainnya. Perkiraan saya sejak tahun 1995 hingga 2020, pedagang pasar Weleri menyumbang PAD Kendal lebih dari Rp 250 Milyar.
Jika ada niat baik (political will) dari Pemkab Kendal dan DPRD Kendal tentu mengalokasikan pembangunan kembali Pasar Weleri sebesar Rp 100 Milyar bukan angka yang terlalu besar.
Keempat, tumbuh dari bawah dan sarat dengan kearifan lokal (local wisdom) : budaya gotong royong, kekerabatan sosial, rasa kemanusiaan (sense of humanity) yang masih terjaga.
Belum ada ceritanya seorang pencopet yang biasa beraksi di sebuah pasar melakukan pencopetan terhadap pedagang pasar tradisional. Apalagi jiwa welas asih-asah-asuh di kalangan pedagang sangat tinggi.
Kelima, ekonomi "padat karya" (ekonomi Pancasila) lebih mendominasi dibandingkan pasar modern yang "padat modal" (liberal-kapitalisme). Adanya keragaman produk yang dijual serta berasal dari sumberdaya lokal atau produk dalam daerah, menyatu dalam satu lokasi yang sama.
Keenam, kemandirian pedagang pasar tradisional sangat tinggi. Pedagang pasar tradisional tidak tergantung dengan bantuan sosial dari pemerintah. Cukuplah pedagang disediakan bangunan pasar yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah, Pemdes atau Perusda.
Sediakan fasilitas pendukung yang baik bagi pedagang dan pengunjung. Jangan bebani pedagang dengan aneka cicilan dan pungutan yang berlebihan. Jika pemkot Solo dan beberapa pemkab lain di Jawa Tengah bisa melakukan mengapa Pemkab Kendal tidak meniru melakukan hal yang baik buat rakyatnya.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait