Biasanya, bisnis warung tegal ini dikelola oleh kelompok keluarga dengan sistem pengelolaan secara bergantian dan juga turun temurun. Ketika ayah dan ibu memiliki usaha satu warung tegal, maka dapat menular kepada anak-anaknya yang juga memiliki usaha warteg.
Mereka bahkan tergabung dalam Perhimpunan Kowarteg (Koperasi Warung Tegal) yang bertujuan untuk menjalin kerja sama dan membantu para anggotanya melalui wadah koperasi.
Bisnis warteg kian hari dipandang sebagai bisnis yang menjanjikan bagi mayoritas orang terutama para pekerja di ibu kota. Dengan gaji yang tidak seberapa untuk memenuhi biaya hidup yang terlampau tinggi, para pekerja biasanya mengambil kesempatan untuk membuka warung tegal di kawasan industri dan sekitar kampus.
Keberhasilan warteg tumbuh dan berkembang di Jakarta lantaran keberadaannya di lingkungan atau kawasan industri yang mayoritas merupakan buruh bangunan, buruh pabrik, tukang becak, dan sopir bus. Namun, kini warteg sudah menjadi alternatif pilihan makanan yang murah dan enak bagi para pekerja kantoran dan mahasiswa.
Berawal dari kenekatan orang-orang Tegal merantau ke ibukota serta kemampuan warga Tegal dalam memasak inilah akhirnya mulai banyak warteg-warteg yang tersebar di sudut Kota Jakarta. Sekitar tahun 1970-an eksistensi warteg kian berkembang seiring arus urbanisasi besar-besaran di Jakarta.
Kehadiran warteg mewarnai kehidupan pernak-pernik kota tanpa meninggalkan keaslian budaya orang Tegal yang tinggal di wilayah Pantura Jawa. Kemudian kemampuan ini mereka kembangkan dengan cara membuka warteg.
Menjamurnya warteg di pelosok Jakarta, bahkan hingga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi telah menjadi brand image yang merakyat di mata banyak orang. Efeknya beberapa daerah tetangga Tegal seperti Brebes, Pemalang, Cirebon, dan Pekalongan akhirnya ikut- ikutan membuka usaha warteg di Jakarta.
Editor : Iman Nurhayanto