PEKALONGAN, iNewsJatenginfo.id – Sosiawan Leak, penyair asal Solo, dalam obrolan santai yang digelar di Kedai Kopi Lenggah OK, Kauman, Kota Pekalongan, beberapa waktu lalu mengungkapkan, jika Sastra itu sesuatu yang rentan.
Obrolan Sastra tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Omah Sinau Sogan yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Kojah Sastra.
Ungkapan itu tegas dinyatakan penyair yang penampilan panggungnya selalu memukau penonton. Ia mengibaratkan sastra seperti sebuah wayang tanpa gapit (wayang kulit gagang).
“Kita bisa saja membikin wayang itu seindah-indah mungkin. Tatahannya indah, warnanya indah, dan segala macam keindahan yang terkandung di dalam wayang itu. Tetapi, tanpa gapit, wayang itu tidak bisa dimainkan. Ngliur-ngliur (lemas tanpa daya). Mung bisane ya disendekake ning tembok (Hanya bisa disandarkan pada dinding),” ujarnya.
Kendati demikian, Sosiawan tidak menampik bahwa keberadaan sastra sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat. Hanya, agar sastra memiliki kekuatan untuk menyadarkan dan menggerakkan masyarakat, ia membutuhkan berbagai elemen yang ada di sekeliling masyarakat.
“Agar dikenal, sastra memerlukan sarana-sarana lain seperti komunikasi, meski sebenarnya sastra adalah bentuk komunikasi. Ia membutuhkan media untuk berkomunikasi dengan masyarakatnya. Tidak hanya itu, ia juga memerlukan bentuk-bentuk apresiasi yang variannya bisa sangat banyak. Seperti musik, pementasan teater atau drama, dan sebagainya,” jelas Sosiawan Leak.
Dalam kesempatan itu, ia mengambil beberapa contoh kasus kesusastraan. “Fenomena sekarang ini sebenarnya sangat menarik. Orang-orang, terutama anak-anak muda, baru tahu dan kepo ketika mereka menonton film Bumi Manusia yang digarap Hanung. Mereka lalu baru tahu kalau ternyata ada novel Bumi Manusia karangan Pram. Lantas, mereka kepo dengan novel itu,” kata Sosiawan.
Meski memang, seperti diakuinya, antara film dengan novel memiliki perbedaan yang terlalu tajam. Sebab, film dibatasi oleh berbagai hal, baik teknis maupun batasan estetikanya. “Film memiliki batasan estetika yang jelas-jelas berbeda dengan novel. Untuk alasan itu, tidak seluruhnya yang ada di dalam novel dapat ditampilkan ke dalam film. Akan tetapi, film memiliki fungsi sebagai alih wahana yang harapannya bisa juga mendorong orang untuk mencari informasi yang lebih akurat mengenai novel yang difilmkan itu,” jelasnya.
Sementara, ketika disinggung mengenai perkembangan puisi, Sosiawan Leak berkomentar, bahwa puisi pun memerlukan sarana lain untuk bisa dipopulerkan. Tidak semata-mata buku puisi.
“Fenomena puisi yang difilmkan atau dimusikkan adalah hal yang juga tak kalah menariknya dengan alih wahana prosa ke dalam film. Salah satunya yang dahsyat adalah film Ada Apa Dengan Cinta yang menjadi salah satu media bagi puisinya Chairil Anwar untuk bisa dipopulerkan,” katanya.
Di lain hal, Sosiawan menengarai, kondisi kekinian sastra tidak lepas dari perubahan yang terjadi di masa kini. Ia menyebutkan, sastra sebagai teks akan mengalami kesulitan jika ia masih saja didudukkan sebagai teks. Sementara masyarakat masa kini memiliki kecenderungan terhadap audio visual.
“Oleh sebab itu, sastra harus melakukan transformasi secara cepat. Para pelaku sastra mesti bisa membuat terobosan-terobosan dengan menyesuaikan diri pada keadaan. Para pelaku sastra mesti melakukan elaborasi dan kolaborasi untuk mengeksplorasi potensi-potensi yang ada,” tukas Sosiawan.
Editor : Iman Nurhayanto