SEMARANG, iNewsJatenginfo.id - Perbedaan gus dan kiai menarik diketahui. Istilah gus dan kiai cenderung masyarakat belum banyak memahaminya.
Bahkan ada oknum warga memanfaatkannya untuk mengambil keuntungan.
"Ini yang harus diluruskan. Kalau Kiai atau ulama itu harus jelas sanad keilmuannya. Sedangkan Gus harus jelas nasabnya. Jadi masyarakat jangan mudah percaya pada orang yang mengaku kiai atau gus. Lihat dulu sanad dan nasabnya," terang pengasuh Pondok Pesantren Nurul Chotib Al Qodiri IV Jember, Muhammad Fawait belum lama ini kepada iNewsSurabaya.id
Bendahara GP Ansor Jawa Timur ini mengaku prihatin pada fenomena yang terjadi di masyarakat. Menurutnya saat ini sangat mudah mendapat predikat kiai atau gus.
Dia menyontohkan, ada orang memakai jubah atau sorban langsung disebut kiai. Padahal tidak pernah mondok, apalagi mengasuh pondok pesantren. Bahkan justru berpraktik sebagai paranormal atau dukun.
"Demikian juga dengan istilah gus. Itu adalah sebutan untuk anak kiai di Pulau Jawa, untuk menghormati bapaknya yang seorang kiai. Jadi tidak boleh sembarangan menyebut seseorang sebagai gus. Cari tahu dulu dia anak kiai siapa, di mana pondok pesantrennya," ujar Fawait.
Segala hal itu harus diposisikan sesuai pada tempatnya. Termasuk istilah atau penyebutan kiai atau gus dalam kehidupan bermasyarakat.
Dia mengingatkan, sebutan kiai, gus, lora atau yek adalah sebuah penghormatan dan sarat maknanya. Karena itu harus disematkan kepada orang yang tepat dan memang berhak.
"Banyak kasus terjadi, orang yang melakukan praktik perdukunan menyebut dirinya kiai atau gus. Hal itu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tapi ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi. Ini tentu merugikan kiai dan gus yang benar-benar asli," pungkas Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jatim tersebut
Editor : Iman Nurhayanto