Para akademisi juga menyoroti tidak adanya unsur 'melawan hukum' dalam pasal tersebut, sehingga tindakan legal seperti pembelaan diri di pengadilan dapat dianggap menghalangi penyidikan. Mereka juga mempertanyakan proporsionalitas ancaman pidananya.
"Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional," ujar para akademisi.
Para ahli hukum yang terdiri atas profesor dan doktor seperti Prof Tongat dari UMM, Prof Mahmutarom HR dari Unwahas, dan Prof Rena Yulia dari Untirta meminta MK memberikan tafsir pembatasan terhadap pasal tersebut.
Mereka mengusulkan agar pasal ini hanya menjerat perbuatan dengan niat jahat yang dilakukan melalui kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan tidak semestinya, sesuai dengan Article 25 Konvensi PBB Antikorupsi.
"Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional. Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.
Mereka juga mengingatkan bahwa bahasa hukum tidak pernah netral dan kekaburan rumusan dapat mengakibatkan penafsiran sepihak oleh aparat.
"Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan bahasa norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar," kata para akademisi.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait
