Karena itu, perlu mengatur mekanisme dan tata cara apa saja yang dilarang dan dibolehkan. Sehingga nantinya tanaman tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
“Ini juga menjadi salah satu prospek ke depan untuk peningkatan PAD Aceh. Karena ini akan menjadi barang ekspor untuk negara-negara luar,” bebernya.
Falevi menuturkan, saat ini pihaknya bersama unsur lainnya terus menganalisis secara detail positif dan negatifnya penerapan qanun tersebut nantinya.
Dalam waktu dekat, Komisi V DPRA segera memanggil para tenaga ahli untuk mengkaji secara regulasinya, serta juga melibatkan berbagai unsur baik itu orang kesehatan serta tim riset.
“Secara literatur, tanaman ganja bukan barang asing dan tabu bagi masyarakat Aceh. Hanya saja bagaimana itu kemudian dikemas dalam sebuah regulasi agar tidak menyalahi aturan bernegara,” ucapnya.
“Di sini lah hadirnya pemerintah untuk mengatur tersebut, sehingga rakyat tidak disalahkan. Tentunya sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan berlaku,” imbuh Falevi Kirani.
Sebelumnya, LSM dan ibu-ibu dari pasien gangguan otak cerebral palsy mengajukan uji materi Undang-undang nomor 35 tahun 2000 tentang Narkotika agar ganja bisa dilegalkan untuk medis, namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Di UU Narkotika pasal 6 ayat 1 berbunyi, bahwa narkotika golongan 1 hanya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan tidak digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Dalam pasal 8 berbunyi “Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan”.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait