Adapun guci sakti tersebut sekarang ada di Museum Nasional karena pada zaman Adipati Cokroningrat dari Brebes memindahkannya dari Desa Guci ke pendopo Kadipaten Brebes yang kala itu Desa Guci adalah bagian dari Kabupaten Brebes.
Untuk lebih membaur dengan warga, Raden Aryo Wiryo menggunakan nama samaran yaitu Kyai Ageng Klitik atau untuk lebih akrab dengan sebutan Kyai Klitik. Selain itu penyamaran tersebut juga mengandung maksud lain, sebab keturunan darah biru atau bangsawan dari keraton banyak yang diburu penjajah Belanda.
Sampai sekarang tidak diketahui maksud dan asal muasal makna yang sesungguhnya, dia juga menemukan tuk atau mata air panas lain yang sekarang terkenal dengan Pemandian Kasepuhan dan Pemandian Pengasihan yang berkasiat untuk sababiyah berbagai penyakit kulit dan tulang dan sarana mengabulkan khajat tertentu bagi yang meyakininya.
Konon kabarnya Pemandian tersebut adalah tempat untuk penjamasan atau memandikan keris Kyai Klitik agar pamornya menjadi sepuh sehingga tempat itu dinamakan Kasepuhan dan tempat untuk memandikan pusaka-pusaka lain yang berpamor welas asih.
Sehingga tempat tersebut dinamakan Pengasihan. Tempat tersebut sekarang dipergunakan untuk pemandian umum yang didatangi pengunjung dari berbagai tempat.
Setelah Desa Guci semakin ramai maka datanglah seorang pengembara bernama Mbah Segeong dan bertapa di dalam Gua, yang sekarang terkenal dengan Gua Segeong terletak di sebelah selatan Pos I Retribusi sekitar 350 m jaraknya.
Pada saat Kyai Elang Sutajaya mensyiarkan agama Islam dia sering melakukan semedi di atas sebuah bukit. Di sekitar tempat itu banyak terdapat hewan badak ( warak, dalam bahasa jawa ), maka Kyai Elang Sutajaya menyebutnya dengan Kandang Warak yang sekarang nama tersebut digunakan sebagai nama sebuah dukuh di sebelah timur Desa Guci yaitu Dukuh Pekandangan.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait