Herik menegaskan jurnalis mengawasi pemilu sebagai fungsi kontrol sosial dari media. ‘Jurnalis memantau, meliput, dan melaporkan ke publik. Jurnalis punya privilege untuk mengakses narasumber dan memberitakannya. Untuk itu jurnalis harus menjaga amanah itu.
“Jurnalis harus menjalankam tugas secara profesional, memiliki keterampilan, keahlian, dan taat pada kode etik jurnalistik dan P3SPS,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyambut baik kehadiran IJTI yang berkomitmen mengawal Pemilu 2024.
“Pengawasan Pemilu bukan hanya tugas Bawaslu, tapi tugas semua pihak. Kami berharap IJTI berperan dalam memilah, memilih berita bermasalah terkait dengan pemilu,” ujarnya.
Pada Pemilu 2019 lalu, kata Bagja, pers berperan, salah satunya, mengatasi masalah hoaks surat suara di Syahbandar Tanjung Priok.
“Media televisi membantu melakukan verifikasi. Peran pers seperti ini diharapkan pada Pemilu 2024 mendatang mengingat kerawanan pemilu 2024,” pungkasnya.
Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty juga memberi perhatian terkait hoaks dan informasi bermasalah di media sosial. Untuk mengatasi masalah hoaks, kata Lolly, dibutuhkan kerjasama Bawaslu dengan media tv untuk cepat menyampaikan informasi yang benar.
Informasi pemilu yang benar harus terinformasikan ke publik mulai dari pengawasan, pencegahan, dan penanganan pelanggaran pemilu.
“Kalau dalam genting, kami akan siapkan video statemen untuk menyampaikan informasi yang benar kepada publik. Kami harus tegak lurus dengan aturan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi IJTI Ken Norton Hutasoit mengatakan IJTI perlu kerja sama dengan Bawaslu untuk memperkuat pemahaman jurnalis tv dalam meliput pemilu termasuk pengawasam pemilu.
“Jurnalis tv harus paham aturan dan hal-hal mana yang bisa diliput termasuk pada saat pemungutan suara di TPS. Dalam peliputan pemilu, jurnalis tidak jarang menjadi korban kekerasan, karena itu harus mengedepankan keselamatan dan taat pada KEJ dan P3SPS,” ujarnya.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait