JAKARTA, iNewsJatenginfo.id – Buya Hamka memang selalu menarik untuk dibahas. Siapa yang tidak mengenal sosok ulama, pahlawan kemerdekaan, filsuf dan juga sastrawan itu. Berbagai karyanya yaitu Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk begitu populer dan diminati sampai saat ini, bahkan dua novel tersebut dijadikan film.
Siapa sangka bahwa bakat Buya Hamka kecil dikenal nakal. Buya Hamka menyukai bahasa dan karya sastra sejak kecil. Bahkan, Hamka kecil sering bolos ke surau menonton film bisu di bioskop. Apalagi setelah perceraian orang tuanya.
Buya Hamka kecil saat itu sering pergi jauh hingga menemukan bahwa gurunya Zainuddin Labay El Yunussy mempunyai bibliotek atau perpustakaan penyewaan buku. Usai membaca, Buya Hamka kecil menyalin tulisan buku itu. Namun, ia mulai serius menulis usai kembali dari Mekkah, Arab Saudi.
Profil dan Biodata Buya Hamka
Seperti apa perjalanan hidup tokoh Muhammadiyah ini, mari simak profil dan biodata Buya Hamka yang dikutip dari berbagai sumber pada Rabu (16/8/2023):
Buya Hamka memiliki nama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah, ia lahir di Tanah Sirah yang kini masuk wilayah Sungai Batang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908. Buya Hamka merupakan anak pertama dari Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul dengan Safiyah.
Buya Hamka memiliki tiga orang adik yakni Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul Mu'thi. Buya Hamka juga punya seorang kakak tiri dari pernikahan ayahnya dengan almarhumah kakak ibunya, Raihana yang meninggal di Tanah Suci, dia bernama Fatimah. Juga seorang adik tiri dari pernikahan ayahnya dengan ibu tirinya Rafi’ah, bernama Abdul Bari.
Hamka kecil tinggal bersama anduang atau nenek dari ayahnya di Maninjau, mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau, karena Haji Rasul sering bepergian untuk berdakwah. Saat 4 tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca Al-Qur'an dan bacaan salat di bawah bimbingan kakak tirinya.
Saat 7 tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Sekolah Diniyah. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Ayahnya menyekolahkannya ke Thawalib di surau yang mewajibkan hafalan-hafalan kitab klasik seperti nahwu dan saraf, namun ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang membahas tentang syair dalam bahasa Arab.
Hamka kecil juga terkenal nakal, karena sering mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar menonton film, Malik pernah bolos datang ke surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop. Buya Hamka saat berusia 21 tahun menikah dengan Sitti Raham yang berusia 15 tahun pada 5 April 1929. Raham ternyata masih kerabat ibunya, dari pernikahan ini Buya Hamka dikaruniai 12 anak, 2 di antara mereka meninggal saat masih balita. Setelah Raham meninggal dunia pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon pada 19 Agustus 1973. Dan sampai Mei 2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit.
Pendidikan Buya Hamka
Buya Hamka bersekolah di Sekolah Desa dan Diniyah School saat kecil, ia juga belajar agama di Thawalib di Ujung Pandang namun tidak pernah tamat. Saat berusia 14 tahun, Hamka diantarkan ayahnya belajar mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, sekitar lima kilometer dari Bukittinggi.
Pada Juli 1924, Malik kembali merantau ke Jawa. Hamka menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya membawa Hamka belajar tafsir Qur’an di tempat Ki Bagus Hadikusumo. Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, Hamka banyak menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik dari HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto.
Pada awal Februari 1927, Malik berangkat dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah, di sana ia bekerja sembari menimba ilmu.
Atas keilmuan, dedikasi dan berbagai karyanya, Buya Hamka mendapatkan sejumlah gelar kehormatan seperti dari Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Nama Hamka disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.
Perjalanan Karier Buya Hamka
Hamka merantau ke Jawa pada umur 16 tahun. Hamka pulang ke Padang Panjang setahun setelahnya untuk membesarkan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pengalaman ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki ijazah dan kemampuan berbahasa Arabnya yang terbatas mendorong Hamka muda pergi ke Makkah.
Di Makkah, Hamka makin fasih berbahasa Arab dan sari situ ia mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke Tanah Air, Hamka bekerja sebagai wartawan sambil menjadi guru agama di Deli.
Setelah menikah, ia kembali ke Medan dan memimpin Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya yang populer seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik Indonesia, Hamka bergerilya di Sumatra Barat bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menggalang persatuan rakyat menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Aawalnya, ia bekerja di Departemen Agama, tapi mundur karena terjun di jalur politik.
Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi dan terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno.
Usai Masyumi dibubarkan sesuai isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan Panji Masyarakat yang berumur pendek, karena dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden berjudul “Demokrasi Kita”.
Seiring dengan meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Hamka bebas pada Mei 1966 menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno. Pada masa Orde Baru, Hamka menghabiskan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di RRI dan TVRI. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua.
Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, sebagai tanggapan atas tekanan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim.
Kesehatan Hamka menurun setelah mundur dari jabatan ketua MUI. Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) pada 18 Juli 1981 mengikuti anjuran dokter keluarga. Di hari ke-6, Hamka sempat menunaikan salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah untuk bertayamum. Siangnya, Hamka koma dan tim dokter menyatakan beberapa organ vitalnya tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan alat pacu jantung.
Pada pukul 10.00 pagi keesokan harinya, anak-anak Buya Hamka sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan tidak lama setelah itu Hamka menghembuskan napas terakhirnya. Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden Fatah III, Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik turut memberikan penghormatan terakhir lalu dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
Demikian informasi seputar profil dan biodata Buya Hamka, yang dihimpun dari berbagai sumber, semoga perjuangkan Buya Hamka memantik semangat kita untuk terus berjuang dan menimba ilmu.
Editor : Iman Nurhayanto