SEMARANG, iNewsJatenginfo.id - Hingga per September 2022, angka inflasi di Jawa Tengah lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka inflasi nasional.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) Dr Hardiwinoto, MSi. Menurut Hardi angka inflasi Jateng berada di angka 6,4 persen sedangkan inflasi nasional 5,9 persen.
Berdasar data tersebut, Hardi mengatakan jika nilai inflasi di Jateng lebih tinggi dibandingkan dengan nilai inflasi rata-rata nasional.
"Saya mengambil data dari Bank Indonesia dan BPS Jawa Tengah, saya termasuk kaget. Jateng itu inflasinya lebih tinggi dibandingkan nasional, nasional itu 5,9 persen sedangkan Jateng 6,4 persen. Hal itu menunjukkan inflasi Jateng lebih tinggi daripada nasional," ujarnya, Rabu (9/11/2022).
"Padahal kalau dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi harusnya, kalau inflasi lebih tinggi maka pertumbuhan lebih tinggi itu namanya klop. Namun ini, tidak klop karena pertumbuhan ekonomi Jateng lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional berarti kan ada kesenjangan" sambungnya.
Ia menilai, bila inflasi didukung oleh pertumbuhan ekonomi, maka masih sejalan atau proporsional.
"Tetapi kalau inflasinya tinggi, pertumbuhan ekonominya menurun itu ada kesenjangan ekonomi disitu," ucapnya.
Hardi mengungkapkam angka inflasi memang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah daerah.
"Inflasi itu tidak bisa dikendalikan oleh secara daerah itu betul, karena tetap dipengaruhi oleh nasional. inflasi tahun ini, itu ada pada sektor transportasi yang sangat besar. Kalau sektor transportasi itu dikarenakan bahan bakar minyak (BBM), meskipun di dalam laporan disebutkan inflasi karena bahan pangan, bahan baku, dan lain sebagainya tapi mereka itukan akibat dari transportasi yang mahal. Transportasi yang mahal itu karena BBM yang naik," bebernya.
Bank Indonesia (BI) Jateng, ucapnya, memperkirakan pertumbuhan ekonomi di Jateng tahun 2022 mencapai 4,6-5,5 persen year or year (yoy), angka tersebut lebih baik dari 2021 yang hanya 3,32 persen. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Jateng pada kuartal ke III-2022 mencapai 5,28 persen.
"Angka tersebut masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,72 persen," tambah alumni FEB Universitas Diponegoro tersebut.
Katanya pertumbuhan ekonomi didorong oleh investasi, konsumsi masyarakat, dan pengeluaran pemerintah.
"Bila pertumbuhan ekonomi terhambat, berarti diantara ketiga tadi ada yang kurang. Kemudian ada ekspor sebagai tambahan. Maka bisa dilihat bahwa konsumsi masyarakat itu meningkat apa tidak, ini kalau tidak meningkat berarti penyebabnya adalah investasi pemerintah," jelas Hardi.
Hardi menduga pengeluaran pemerintah daerah kurang progresif.
"Saya menduganya pengeluaran pemerintah ini kurang progresif dalam pencairan APBD-nya atau dorongan APBD yang untuk goverment expenditure atau inventasi pemerintah kurang. Kalau konsumsi masyarakat itu kan pada kemampuan masyarakat, ini juga sinkron karena pertumbuhan ekonomi itu lebih rendah daripada nasional maka bisa saja konsumsi masyarakat juga kurang meningkat," tukasnya.
Usai Covid-19, Ia menilai harusnya perekonomian mulai bangkit.
"Tahun 2021 itu kan mulai bangkit, tahun 2022 harusnya sudah mulai menanjak naik. Terutama di sektor hiburan, pariwisata, dan kuliner, itu harus kita genjot. Karena orang cenderung setelah dua tahun berada di rumah maka tahun ini menurut saya tahun pariwisata," ucapnya.
Mantan Dekan FE Unimus itu menyayangkan, destinasi wisata di Jawa Tengah sangat kurang bila dibandingkan dengan destinasi wisaya yang ada di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Guna menekan angka inflasi di Jateng, Hardi pun memberikan masukan-masukan ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
"Maka yang perlu didorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap produksinya, sehingga inflasi itu menjadi sebab bukan akibat. Kalau kebutuhan masyarakat di Jateng itu terpenuhi maka inflasi otomatis menurun, namun kalau faktor permintaan tidak terpenuhi maka akan mendorong inflasi naik," katanya.
Menurutnya, inflasi adalah akaibat sehingga yang diselesaikan adalah sektor produksi atau kesediaan kebutuhan masyarakatnya.
"Kebutuhan ini bisa sektor jasa atau barang. Kalau sektor barang terhalang akibat produksi, terhalang akibat kenaikan BBM atau upah minimum regional itu kan bisa menghambat produksinya sehingga bisa mengakibatkan inflasi," kata Hardi.
Terkait investasi yang banyak dilakukan pengusaha asing (PMA) di Jawa Tengah, diingatkan oleh Hardi investasi asing tidak secara otomatis memberikan kesejahteraan di masyarakat.
"Artinya tidak otomatis menurunkan inflasi. Investasi yang betul itu, adalah meningkatkan investasi dalam negeri atau masyarakat setempat. Misalnya sektor pangan berarti investasi sektor pangan yang bisa dilakukan swasta ataupun pemerintah. Kalau oleh pemerintah itu investasinya yaitu utility public untuk mendukung sektor pangan harus digenjot. Invetasi ini bersumber dari pengeluaran pemerintah untuk fasilitas publik di sektor pangan," ucap Hardi.
Hardi mendorong Pemprov Jateng untuk menyediakan fasilitas publik untuk mendukung penyediaan fasilitas hidup masyarakat.
"Misalnya di sektor pertanian berarti pengairannya harus diperbaiki, kemudian sistem tata laksana perdagangan mulai dari petani sampai pasar itu harus ditata secara efisien sehingga mata raintai tidak terlalu panjang. Kalau perlu Pemprov punya lumbung pangan kalau istilah zaman dulu yang mampu membeli saat panen sehingga harganya tidak jatuh dan ketika kekurangan pangan mampu mendistribusikan. Nah ini yang kurang dimiliki," pungkasnya.
Editor : Iman Nurhayanto