JAKARTA, iNewsJatenginfo.id - Memilih makanan sehat dan bergizi menjadi hal penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Apalagi bagi balita, tentunya membutuhkan asupan gizi yang baik.
Memberikan asupan gizi yang tepat pada bayi dapat mencegah stunting. Stunting merupakan kondisi kekurangan gizi kronis pada bayi yang menyebabkan anak pendek dan perkembangan otaknya tidak maksimal.
Perlu diketahui, pemerintah terus menggiatkan program penanganan stunting untuk mencapai target penurunan menjadi 14 persen secara nasional pada 2024.
Berdasarkan survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) mencatat prevalensi stunting pada tahun 2019 sebesar 27,7 persen.
Adapun Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat prevalensi stunting di tahun 2021 sebesar 24,4 persen.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan, dr. Erna Mulati mengatakan, kasus stunting dapat dicegah maupun diatasi dampaknya.
Salah satunya adalah dengan mengonsumsi asupan sumber protein hewani yang baik dan cukup, seperti susu dan telur.
"Ada dua intervensi yang dilakukan untuk menangani stunting. Pertama, intervensi spesifik yang dilakukan secara langsung dan kuratif. Intervensi ini berkontribusi pada 30 persen penanganan stunting," ujar dr Erna melalui keterangannya dikutip Kamis (16/6).
Dr. Erna menambahkan, intervensi dilaksanakan sebelum dan setelah anak lahir. Adapun sebelum kelahiran meliputi pemeriksaan kehamilan dengan meningkatkan kualitas maupun frekuensinya.
"Pemeriksaan kehamilan di awal untuk melakukan deteksi sedini mungkin ada tidaknya masalah, termasuk masalah gizi ibu hamil," kata dr. Erna.
Menurut dia, masalah gizi pada ibu hamil, baik karena obesitas, kurang energi dan, gizi kronis dapat memengaruhi pertumbuhan janin, termasuk juga meningkatkan risiko hipertensi dan preeklampsia pada ibu.
Pemerintah, lanjutnya, juga melakukan program tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama masa kehamilan, yang diminum satu kali sehari. Pemberian tablet tambah darah juga dilakukan kepada remaja putri karena tingginya angka anemia pada remaja putri, wanita usia subur, dan ibu hamil.
Adapun intervensi yang dilakukan setelah persalinan adalah pemberian ASI eksklusif yang didahului dengan Inisiasi Menyusu Dini (IMD), serta pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang bergizi dan mengandung protein hewani, dan pemantauan tumbuh kembang balita.
"MPASI diberikan sejak anak berusia 6 bulan, sebab pemenuhan gizi dari ASI di usia bayi 6-9 bulan hanya 70 persen saja," kata dr Erna.
Dr Erna menambahkan, intervensi kedua dalam penanganan stunting adalah intervensi sensitif yang bersifat tidak langsung, tetapi berkontribusi sampai 70 persen.
Program yang termasuk di antaranya penyediaan air bersih, lingkungan tempat tinggal yang bersih, penanggulangan kemiskinan, hingga pendidikan.
Dia menjelaskan, makanan Pendamping ASI yang Mengandung Protein Hewani MPASI yang dianjurkan untuk tumbuh kembang balita adalah yang mengandung protein hewani, seperti susu, telur, ikan, ati ayam, atau pun produk susu lainnya.
"Protein hewani tiga jenis lebih bagus dari pada dua jenis. Misalnya, anak diberikan telur, ikan, dan ati ayam, lebih bagus dibanding telur dan ikan saja, atau telur dan susu saja," kata dr. Erna.
Program Coordinator Sekretariat Stunting INEY, Bappenas, Harris Rambey menyebutkan, dalam masa tumbuh kembang anak, protein dibutuhkan untuk membangun kognitif, membangun sel-sel tubuh, dan pertumbuhan anak secara fisik maupun kecerdasannya.
“Inilah konsep dasar tentang pentingnya asupan makanan yang mengandung tinggi protein. Dengan catatan ASI sudah eksklusif selama 6 bulan. Lalu dilanjutkan dengan tahap MPASI yang bergizi dan tinggi kandungan protein hewani seperti susu,” kata Harris.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Prof. Sandra Fikawati mengatakan, jika dibandingkan anak yang mengonsumsi susu dan protein hewani dengan anak yang tidak mengonsumsi susu dan protein hewani lainnya, risiko terkena stunting memang cukup besar bagi yang kekurangan protein hewani dan susu.
Menurut Prof. Fika, protein hewani mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap dan bermanfaat mendukung pembentukan semua hormon pertumbuhan.
“Tubuh yang kekurangan asupan protein hewani, akan mengalami kekurangan hormon pertumbuhan, gangguan regenerasi sel, dan sel tidak tumbuh dengan baik, belum lagi sistem kekebalan tubuh terganggu, jadi sering sakit, massa otot tidak bertambah. Itulah sebabnya susah berkembang atau bertumbuh kalau kekurangan protein hewani, sehingga menyebabkan stunting dan gangguan kognitif," ujar prof. Fika.
Dr Erna menambahkan, sayangnya, konsumsi protein hewani di Indonesia masih rendah.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 konsumsi protein hewani hanya 21,5 gr per kapita per hari. Artinya hanya sekitar 1/3 dari konsumsi protein keseluruhan yang mencapai 62,28 gr per kapita per hari.
"Rendahnya konsumsi protein di Indonesia, antara lain disebabkan oleh akses untuk mendapatkan protein hewani yang masih rendah pada sebagian besar masyarakat dan juga kurangnya ketelatenan orang tua dalam memberi makan anak-anaknya," kata dr Erna.
Dalam rangka Hari Susu Sedunia dan Hari Susu Nusantara, Prof. Fika mengingatkan, selain sebagai sumber protein, kandungan gizi pada susu sangat lengkap, mulai dari sumber energi, lemak, aneka vitamin dan mineral.
Menurut Prof. Fika, peran susu dalam mencegah kekurangan gizi sebenarnya sangat panjang.
Susu ASI diperlukan sejak bayi baru lahir, lanjut masa anak-anak, dewasa, hingga lansia dengan melanjutkan konsumsi susu sesuai tahap usia dan kebutuhan masing-masing tubuh.
"Untuk bayi (melalui ASI), anak-anak, dan remaja, susu diperlukan untuk pertumbuhan karena kandungan gizinya. Pada saat dewasa, kandungan kalsium yang tinggi pada susu dapat mencegah osteoporosis, susu juga mendukung daya tahan tubuh," kata Prof Fika.
Editor : Iman Nurhayanto