Zabidi menyebut sejak INFISA dibentuk di tahun 2008, mencatat setidak ada 1.300 kasus eksploitasi ABK.
Ada sekitar 1.300 kasus se Indonesia yang terbanyak di Jawa Tengah, dan di eks-Karesidenan Pekalongan mendominasi sampai 40 persen. "Paling banyak kasus gaji tidak dibayar," cetus Zabidi.
Zabidi mengaku pihaknya kerap mengadvokasi kasus tersebut. Setidaknya sudah ada 7.800 ABK yang bernaung di INFISA hingga tahun 2022.
"Sejauh ini kami mengadvokasi dari hulu sampai hilir. Misal apakah permasalahannya di perusahaan penyalur di Indonesia, atau kantor Taiwan, atau pemilik kapal asing itu sendiri," jelasnya.
Konsultan Hukum INFISA, Adi Gunawan, mengemukakan kegiatan workshop agar dalam proses perekrutan dan penyaluran ABK oleh perusahaan bisa tertib secara hukum.
"Kami beri masukan terkait permasalahan hukum. Yang mungkin dalam proses perjanjian kontrak ataupun pelaksanaan hubungan industrial di atas laut. Kami konsen perekrutan yang lebih baik untuk menghindari pelanggaran HAM para pekerja kita," ujar Adi.
Adi menyebut perusahaan perekrut dan penyalur ABK ke kapal asing, harus memiliki izin resmi dari pemerintah.
Selain itu, perusahaan juga harus memastikan bahwa pemilik kapal asing dimana ABK bekerja juga harus perusahaan yang legal.
"Jadi perusahaan perekrut harus dapat nemastikan hak dan kewajiban ABK agar terpenuhi, termasuk adanya jaminan sosial," terang Adi.
ditambahkan Adi, tidak sedikit perusahaan nakal dalam merekrut dan menyalurkan ABK.
"Masih banyak mau merekrut namun lupa akan tanggung jawabnya terhadap pekerja yang diberangkatkan," papar Adi.
Menurut Adi, pihaknya memberikan pandangan hukum, mencoba memperbaiki dari sistem kontraknya agar tidak terjadi permasalahan hukum atau lepas tangan begitu saja.
"Agar jika terjadi permasalahan pekerja migran kita yang bekerja di atas laut, tidak lagi bingung mengadu ke siapa dan tahu cara bagaimana mjalan keluarnya," jelas Adi.
Editor : Iman Nurhayanto