SEMARANG, iNewsJatenginfo.id - Saat simbah putri kami, Saijah Syirojudin wafat dalam usia 102 tahun (1988), ada kenangan yang masih saya ingat selalu, yaitu giginya masih utuh, wajahnya teduh tersenyum dan tubuhnya lurus. Padahal semasa hidupnya, sudah puluhan tahun mbah Saijah badannya membungkuk dan berjalan menggunakan bantuan tongkat kayu. Sebagai salah satu cucu, saat itu saya merasa bersyukur dapat mengikuti pemulasaraan jenazah hingga prosesi penguburan jenazah ke liang lahat.
Saya meyakini giginya yang masih utuh tersebut dikarenakan kebiasaan simbah nginang setiap hari. Sayapun menyaksikan simbah tidak pernah “kerso” (mau) makan nasi panas atau hangat, menunggu dingin. Sejak SD saya sering diajak suwargi bapak Damanhuri Syiroj sowan simbah Saijah di dusun Tunggu, Sendangmulyo, Meteseh, Tembalang (dahulu kecamatan Genuk) kota Semarang. Waktu itu, era 70-80an, angkutan kota dari Bonbin (Kebon Binatang) Tegal Wareng hanya sampai Pasar Kapling Sendangguwo.
Jika nasib sedang baik, kami dapat melanjutkan perjalanan menumpang “colt doplak” (mobil pick-up) turun di jalan samping rumah simbah. Tetapi lebih seringnya kami jalan kaki menyusuri perbukitan wadas Sigar Bencah untuk mencapai rumah simbah. Perumahan Ketileng dan Sendang Mulyo masih berupa hamparan luas lahan kering “tegalan” dengan beberapa pohon mangga kuweni (Mangifera odorata). Kadangkala kami “ngiyup” (berteduh) sejenak di bawah pohon tersebut.
Tradisi “nginang” merupakan warisan yang dahulu biasa dilakukan wanita Jawa. Masyarakat Jawa percaya dan meyakini manfaat dan dampak positif dari kebiasaan menginang. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih adanya kebiasaan nginang nenek-nenek di pedesaan. Mereka sangat meyakini bahwa dengan menginang maka gigi dan gusi akan terasa lebih sehat dan kuat.
Untuk menginang dibutuhkan lima bahan alami. Yakni sirih (Jawa : Suruh), biji buah pinang (Jambe), gambir, kapur yang “sudah mati” (Injet) dan tembakau. Kombinasi dari tiga hingga empat bahan tersebut dicampur atau ditumbuk kasar di “pakinangan” wadah khusus dari kuningan, baru dituangkan dalam 1-2 lembar daun sirih lalu dikunyah selama beberapa menit. Kunyahan itu yang terdistribusi ke seluruh gigi, gusi dan rahang di dalam mulut. Tinggalan dari bahan-bahan itulah yang memberikan warna merah kecoklatan pada gigi. Tahap selanjutnya baru disusur dengan tembakau untuk menyerap air dan membersihkan sisa/bekas menginang. Tembakau yang bercampur sisa nginang disebut “susur”.
Rasa nginang perpaduan sepet, pedas, manis dan “semriwing” (sejuk seperti tertepa angin). Porsi bahan baku nginang haruslah seimbang, proporsional. Lebih baik minta tolong diajari dan dibuatkan oleh orang yang telah biasa menginang. Jika belum mahir memadukan bahan secara baik, maka kita akan mengalami “bengoren”. Yaitu bibir terasa kasar dan perih, dikarenakan kebanyakan injet atau kapur sirih. Dua kali mengalami bengoren, membuat saya kapok tidak berani menginang lagi. Pertama, ketika saya mencoba latihan nginang di rumah suwargi simbah Saijah, serta kedua menginang di rumah kos suwargi mbah haji Jamhari Cempolorejo Krobokan Semarang.
Editor : Iman Nurhayanto