Spirit Gotong Royong
Semangat gotong royong di kalangan nelayan sangat tinggi. Mereka bekerja “toh nyowo” (mempertaruhkan nyawa) saat melaut mencari ikan. Mereka bekerja tidak berdasarkan ijazah yang dimiliki. Namun lebih pada pengalaman, keterampilan, keberanian serta kesabaran menjalani profesi yang turun temurun dipelajari secara “learning by doing” dari orang tua, teman dan tetangga.
Seperti tukang batu atau tukang kayu yang berkarier secara bertahap mulai dari “kenek tukang”, tukang amatir lalu menjadi tukang yang mahir.
Nelayan kapal “cakalang” biasa rehat selama sepekan sebelum dan sesudah bulan purnama. Mereka “puasa melaut” sebagaimana sebagian kaum muslim melakukan puasa ayyaumul bidh (setiap tanggal 13-15 bulan Hijriyah).
Selama tidak melaut, mereka gunakan untuk memperbaiki jaring yang robek, menservice mesin kapal (ganti oli, tune-up), mengganti lampu yang mati atau istirahat bersama anak istri di rumah.
Jika nasib baik dan sedang musim ikan, crew kapal bisa pulang lebih cepat 2-3 hari serta mendapatkan ikan banyak yang dilelang di TPI Pekalongan atau Tawang senilai Rp 200 juta-an. Setelah dikurangi biaya perbekalan (solar, es batu, makanan-minuman) sekitar Rp 40-50 juta sekali melaut, maka pendapatan bersih hasil lelang dibagi 2. Separo untuk pemilik kapal, separo untuk crew.
Bagian pendapatan crew kapal dibagi secara adil “gandeng renteng”, dimana bagian juru mudi (nahkoda) sebesar 10% dan sisanya 90% dibagi “ondo usuk” (proporsional) untuk seluruh awak kapal yang ikut bekerja saat itu.
Dengan kata lain, juru mudi mendapatkan penghasilan bersih Rp 10-15 juta dan setiap ABK mendapatkan sekitar Rp 4 juta hingga Rp 6 juta sekali melaut. Penghasilan sebulan berapa tinggal dikalikan dua. Sebuah penghasilan yang lumayan besar dibandingkan gaji buruh pabrik industri lulusan SMK yang berdasarkan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota).
Bagi keluarga nelayan yang “gemi, setiti, ngati-ati” istri nelayan di rumah biasanya bekerja sambilan menjadi bakul ikan atau membuat ikan panggang dan blenyik.
Gemi, setiti, ngati-ati mengandung pengertian mendalam, dimana pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah (ikan) harus dilakukan secara hemat (gemi, bukan pelit/bakhil), teliti dan cermat (nastiti, setiti : tidak mengulur waktu), berhati-hati (ngati-ati) bukan ceroboh atau serampangan.
Anda tertarik untuk menjadi nelayan kapal ikan atau sebagai petambak dan juragan kapal ikan? Yang jelas dan pasti, tidak ada kesuksesan yang diraih secara instan.
Tiada artinya kita memiliki ijazah Sarjana Perikanan/Kelautan atau lulusan SMK apabila tidak memiliki nyali dan masih mabuk laut ketika berlayar.
Tiada manfaatnya sumber daya kelautan kita yang luasnya dari wilayah Indonesia, jika sedikit warga yang mau dan mampu bekerja secara baik di sektor perikanan tangkap. Jangan-jangan lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut pun sudah tidak pernah diajarkan di bangku sekolah PAUD, TK dan SD. Diganti lagu Pop Korea atau Sailing-nya Rod Stewart.
Wallahu’alam
_Weleri, 25 Oktober 2024_
*) Ketua LP UMKM PWM Jateng
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait