Kondisi lingkungan pedesaan diperparah dengan meluasnya kawasan hutan yang gundul sebagai daerah penangkap dan penampung air hujan. Juga deforestasi, eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang Galian C yang semakin masif di kawasan penyangga hutan. Eksplorasi tanah, pasir dan batu gunung untuk memenuhi kebutuhan proyek infrastruktur jalan dan pembangunan kawasan industri dan perumahan menambah beban lingkungan semakin berat. Sudah satu dasawarsa lebih “Tuk Si Macan” di kawasan Gunung Mas Weleri tidak mengeluarkan air sama sekali. Seiring gundulnya hutan dan luasnya lahan bekas galian C di kawasan Pagergunung kecamatan Pageruyung, sisi selatan Gunung Mas Weleri Kendal. Padahal tatkala masih SD, kami sering berjalan sejauh 3 km dari rumah untuk mencari “pring tulup” (bambu kecil), bahan membuat mainan di sekitar Tuk itu. Tuk adalah sumber mata air di pegunungan yang sering dimanfaatkan hewan (macan, kera, burung, ayam hutan, lebah, serangga, dll) dan manusia sebagai air minum tatkala kekeringan.
Kemakmuran Petani
Pada era 70-an hingga awal 80-an petani padi boleh dikatakan masih makmur. Dengan memiliki lahan sawah irigasi teknis dan setengah teknis seluas 1 hektar, hasil panen padi sebanyak 2 kali plus 1 kali palawija atau tembakau setiap tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sekeluarga dan membiayai sekolah 2 anaknya hingga sarjana. Pada era itu, biaya sekolah anak di Sekolah/Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta masih relatif murah dan terjangkau oleh penghasilan petani. Sarana produksi pertanian pun tersedia dan terjangkau harganya. Sebuah kondisi yang sangat bertolak belakang dengan tingkat kemakmuran petani saat ini. “Wis regane pupuk larang tur barange angel (Sudah harganya mahal, pupukpun sulit mendapatkan)”, kata mbah Ayi, petani padi tetangga kampung kami.
Sependek pengetahuan kami, di negara-negara yang memiliki Ketahanan Pangan (Food Security) dan Kemandirian Pangan (Food Resilience) bagus, tiada pemerintah yang mengenakan pajak atas lahan dan semua hasil budidaya pertanian. Bahkan pemerintah memberi banyak insentif bagi petani yang mampu menghasilkan berbagai produk bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyatnya. Selain insentif berupa tidak dikenakan berbagai pajak (PBB, PPN), pemerintah memberi gratis bantuan benih dan saprotan, membangun fasilitas sarana prasarana pendukung budidaya (JITUT, JALUT, dll), fasilitas kredit murah tanpa agunan (bunga 1-2% per tahun) dengan masa tenggat angsuran sesuai jenis tanaman dan asuransi gagal panen, juga penjaminan pemerintah untuk membeli semua hasil panen pertanian tanaman pangan dari petani dengan harga tinggi.
Perbaikan lingkungan hidup khususnya kawasan hutan dengan reboisasi secara revolutif, pembangunan dan perawatan sarana irigasi, ketersediaan bibit dan saprotan (pupuk, pestisida, dll), jaminan pembelian hasil pertanian yang tinggi, peningkatan jaminan kesehatan dan pendidikan keluarga petani, kebijakan pemerintah yang pro lingkungan bertautan erat dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan petani. Kemakmuran petani sangat berpengaruh bagi terwujudnya ketahanan pangan dan kemandirian pangan sebuah bangsa dan negara. Sebab ketahanan nasional tidak akan pernah terwujud manakala ketahanan dan kemandirian pangan yang dihasilkan petani tidak terpenuhi. Sebagaimana pernah disampaikan Bung Karno : “soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa”.
Sebagai warga bangsa yang bukan petani, apa yang bisa kita peransertakan untuk ikut mendukung terwujudnya kemandirian pangan dan sekaligus sebagai wujud empati kepada para petani sebagai pahlawan pangan bagi negara. Mari kita mulai dari pola dan budaya makan diri sendiri dan keluarga. Dengan cara tidak menyisakan makanan (food waste) yang disajikan untuk kita. Kita minimalkan food-loss, sampah makanan yang berasal dari bahan pangan keseharian. Agar Indonesia “turun kelas” sebagai penyumbang sampah makanan (food wastage) terbesar kedua di dunia.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait