Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih duduk di Konstituante mewakili Masyumi dan terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Hamka dengan Presiden Soekarno.
Usai Masyumi dibubarkan sesuai isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan Panji Masyarakat yang berumur pendek, karena dibredel oleh Soekarno setelah menurunkan tulisan Hatta yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden berjudul “Demokrasi Kita”.
Seiring dengan meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia merampungkan Tafsir Al-Azhar.
Hamka bebas pada Mei 1966 menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno. Pada masa Orde Baru, Hamka menghabiskan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di RRI dan TVRI. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua.
Namun, Hamka memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, sebagai tanggapan atas tekanan Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait