Hubungan rumah tangga antara suami dan istri harus berprinsip kesalingan. Relasi yang terbangun harus berdasar ‘saling’ bukan ‘paling’. Jika salah satu dari pasangan merasa paling, yang muncul adalah relasi kuasa, pembenaran atas diri sendiri sehingga merasa bahwa yang diluar argumennya adalah salah, selanjutnya muncul rasa dominasi diri dan melemahkan pasangannya. Pentingnya persamaan persepsi untuk membina bahtera rumah tangga didasarkan pada komunikasi antar pasangan.
Pernikahan juga membutuhkan kerjasama dari suami ataupun isteri. Kesalingan ini bukan hanya perihal cinta kasih, namun juga perihal pembagian peran. Dalam konsep gender terbiasa dengan kesetaraan. Setara ini adalah untuk saling membagi sesuai dengan porsinya, tidak mendiskriminasi salah satu pasangan, dan tidak ada ketimpangan posisi. Suami atau istri sama-sama menjalankan misi hidup untuk mendapat ridho Allah Swt, sehingga hal-hal yang bukan bersifat kodrat (tidak bisa dipertukarkan) seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui bisa bertukar peran. Istri juga mendapat kesempatan untuk bekerja diranah publik seperti suami, setelah adanya konsensus keduanya dengan tidak menelantarkan bagian peran yang disepakati.
Dalam menjalani rutinitas kehidupan berumah tangga pastilah muncul rasa jenuh, dan hal itu adalah normal bagi pasangan suami istri. Namun, rasa jenuh harus diantisipasi dan disikapi dengan bijaksana agar tidak memuncak dan tumpah pada kata perceraian. Menarik untuk meminjam konsep mubadalah dalam problematika rumah tangga, bahwa faktor-faktor yang timbul dari adanya perselingkuhan adalah melupakan tujuan dari pernikahan itu sendiri yakni sakinah,mawadah dan rahmah.
Kemudian, tidak menerapkan prinsip-prinsip relasi suami istri dalam rumah tangga. Prinsip tersebut diuntai dalam 5 pilar konsep mubadalah, pertama komitmen pada ikatan janji yang kukuh sebagai amanah Allah Swt (mitsaq ghalizh), kedua prinsip berpasangan dan berkesalingan (zawaj), ketiga perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan (taradh),dan kelima kebiasaan saling berembug bersama (musyawarah).
Bukan berarti fenomena yang terjadi menjadi momok yang ditakuti oleh pasangan suami istri. Sehingga keduanya merasa beban dalam membina rumah tangga, merasa khawatir dan was-was yang justru memicu ketidakpercayaan terhadap pasangan. Dari pemahaman ilmu dan konsep keluarga serta hikmah dari pengalaman orang lain menjadikan kita mawas diri dan lebih bisa mengambil sikap untuk diterapkan dalam melanggengkan hubungan keluarga.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait