Lutfia menjadi satu di antara 125 korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan. Dia tewas bersama seorang teman perempuan yang bersama-sama menonton laga Arema Fc vs Persebaya Surabaya. Keduanya berangkat menonton mengendarai kendaraan roda dua.
Di mata Mufid, Lutfia adalah sosok anak yang baik. Dia pun tidak pernah berani sama orang tua.
"Baik anaknya, nggak pernah bantah orang tua, sekolah juga nggak pernah bolos, selalu bantuin ibunya jualan di pasar. Kemarin itu nyuruh jangan jualan dulu, mau lihat Arema, penurut anaknya,”kenang Mufid.
Namun tak menyangka bila kalimat permohonan menonton terakhir Arema FC ternyata menjadi pertanda Lutfia pergi selama-lamanya. Dia pun mengecam aksi aparat keamanan yang menyemprotkan gas air mata ke arah yang membuat ribuan penonton tidak aman.
"Anak saya dari sini berangkat sehat senang, pulang tinggal nama, sudah beli karcis, sudah betul-betul resmi. Seharusnya aparat punya tanggung jawab penuh sama suporter yang sudah punya tiket," tuturnya.
“Seharusnya kalau punya tiket bisa nonton dengan aman. Fungsinya tiket itu mau nonton aman, dia suporter legal, saya nggak terima. Saya nggak terima dengan minta maaf, saya tetap nggak terima,” katanya.
Saat mendapat kabar anaknya meninggal dunia, Mufid tengah bekerja sebagai tukang bangunan di Surabaya. Begitu menerima informasi dari istri pada Minggu (2/10/2022) pukul 11.00 WIB ia jatuh pingsan dari tempatnya bekerja. Mufid baru sadar setibanya di rumahnya dan tampak terkejut.
Ia masib belum percaya anaknya menjadi korban tewas di Stadion Kanjuruhan Malang. Pasalnya Lutfia selama 20 tahun tak pernah melihat pertandingan Arema FC secara langsung dan bahkan tidak begitu suka sepakbola.
“Percaya nggak percaya, anak saya nggak pernah suka sepakbola. Nggak pernah kepikiran segitu, dia baru pertama kali nonton. Makanya minta izin ibunya untuk lihat, padahal sudah dilarang tapi mohon-mohon," ujarnya.
Editor : Iman Nurhayanto