BLORA, iNewsJatenginfo.id - Kehidupan Suku Samin yang tinggal di pedalaman Blora, Jawa Tengah, menarik untuk dicermati. Suku Samin di Pedalaman Blora ini menjadi salah satu daerah di Indonesia yang menarik untuk dijelajahi.
Hingga saat ini, Suku Samin masih memegang teguh prinsip adat dan tradisi. Kehidupan mereka tidak terpengaruh oleh dunia luar yang hingar bingar.
Lantas, seperti apa kehidupan Suku Samin yang tinggal di pedalaman Blora? Berikut ulasannya dirangkum melalui YouTube Channel Jejak Richard.
Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di antaranya, ada suku yang tetap bertahan dengan nilai adat tradisinya dan ada juga suku yang mulai tergeser mengikuti zaman.
Suku Samin merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang tinggal di pedalaman Blora Jawa Tengah dan masih memegang teguh adat dan tradisi.
Masyarakatnya memiliki ajaran untuk menjunjung tinggi kejujuran serta tidak bersikap sombong. Sama seperti masyarakat Suku Baduy, bepergian jalan kaki merupakan kebiasaan yang sering dilakukan masyarakat Suku Samin.
Bahkan untuk perjalanan antar kota sekalipun mereka tetap berjalan kaki. Hidup menyatu dengan alam, merupakan kebiasaan Suku Samin sejak dahulu kala.
Maka tidak heran jika masyarakat Suku Samin juga tidak mau memetik buah dari atas pohon sebelum buah itu jatuh sendiri ke tanah. Hidup di tengah hutan Jati, menjadikan masyarakat Suku Samin sebagian besar berprofesi sebagai petani, mulai dari menanam padi, jagung, kacang tanah, dan lain-lain.
Masyarakat Suku Samin juga sudah terbiasa menentang penguasa yang sewenang-wenang sejak pada zaman Belanda. Mereka dikenal selalu menolak membayar pajak dan upeti.
Pada zaman penjajahan, masyarakat Suku Samin menolak saat Belanda hendak mendirikan kebun jati. Tidak sampai di situ, hal ini berlanjut ketika Belanda sudah pergi dari Indonesia.
Masyarakat Samin menolak saat mereka hendak dikuasai protani milik pemerintah. Masyarakat Suku Samin juga menjadikan diri mereka dengan nama ‘Sedulur Sikep’, yang artinya orang-orang yang memiliki sikap, serta punya rasa kemanusiaan yang tinggi.
Mereka tinggal berpencar di tiap desa yang tersebar di Kabupaten Blora, dan kabupaten lain di sekitarnya. Seperti Kabupaten Grobogan, Bojonegoro, Rembang, Pati dan Kudus.
Dalam satu desa biasanya masyarakat Suku Samin Terdiri dari 5 sampai 6 keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, baik terhadap sesama maupun tidak, masyarakat Suku Samin memegang prinsip ‘Saya ada karena kamu, kamu ada karena saya’.
Prinsip tersebut menjadikan masyarakat Suku Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau mengambil hak orang lain, tapi mereka juga tidak mau hak-haknya dirampas.
Di tengah kemajuan zaman saat ini, apalagi di Pulau Jawa, Suku Samin tetap mempertahankan adat dan tradisi. Di sisi lain, suku ini tetap berbaur dengan masyarakat umum.
Jumlah mereka saat ini tidak banyak lagi dan mendiami kawasan pegunungan Kendeng di perbatasan dua provinsi, yakni Blora, Jawa Tengah, dan Bojonegoro, Jawa Timur.
Suku Samin berawal dari seorang penduduk desa bernama Ki Samin Surosentiko yang lahir di Desa Poso, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, pada 1859. Bagi masyarakat sekitar tempat tinggal, Ki Samin dikenal sebagai sosok mulia.
Bahkan ada yang menyebutnya sebagai intelektual desa. Samin juga pemimpin yang dihormati masyarakat setempat. Namun, tidak bagi pemerintah Belanda saat itu. Samin dikenal sebagai penjahat yang sering masuk keluar penjara karena tak patuh aturan penjajah.
Salah satu sikap yang diajarkan adalah Sedulur Sikep. Makna ajaran ini bahwa Suku Samin mengutamakan perlawanan tanpa senjata dan kekerasan. Akar dari ajaran ini berawal dengan tindakan mereka untuk tidak membayar pajak serta tak mau menaati peraturan dari pemerintah kolonial Belanda sampai ke penjajahan Jepang. Sikap ini seringkali dianggap menjengkelkan, bahkan terkadang masih dirasakan sampai saat ini.
Ajaran lain yang berkembang di antara masyarakat Suku Samin adalah Sohaling Ilat yang berarti gerak lidah. Makna ajaran ini adalah agar tidak berbicara sembarangan, menjaga lidah atau lisan agar tidak mengucapkan kata-kata bohong yang berpotensi menyakiti hati dan perasaan orang lain. Hal ini berlaku antara satu warga dengan lainnya. Jika tidak ingin disakiti, jangan menyakiti orang lain. Ajaran serupa juga berlaku di setiap aspek kehidupan penduduk setempat.
Masyarakat Suku Samin terbiasa pergi ke berbagai tempat dengan berjalan kaki. Kisah mengungkap, pengalaman orang penduduk suku saat bepergian menuju Rembang. Di tengah jalan, ada bus yang berhenti di dekatnya lalu sang kondektur mengajaknya naik.
Orang Samin itu pun naik. Namun, dia heran mengapa dimintai ongkos oleh kondektur. Karena tidak punya uang, dia diminta turun oleh kondektur di pinggir jalan. Seorang penumpang pun menawari untuk membayarkan ongkos bus, namun orang Samin tersebut menolak dengan mengatakan, lebih baik jalan kaki karena tidak ada yang mengajak bertengkar.
Suku Samin memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Warga suku ini hidup berpencar di banyak desa yang tersebar di sekitar Kabupaten Blora dan beberapa daerah lainnya. Dalam satu desa, biasanya terdiri dari lima hingga enam kepala keluarga.
Masyarakat suku ini memegang prinsip 'Ono niro mergo ningsung, ono ningsung mergo niro' yang artinya (Saya ada karena kamu, kamu ada karena saya). Prinsip ini membuat orang Samin tidak mau menyakiti orang lain. Meski demikian, mereka tidak akan tinggal diam jika hak-haknya diambil.
Editor : Iman Nurhayanto