PURWOKERTO, iNewsJatenginfo.id - Terlahir bukan dari keluarga mampu, disebuah desa terpencil di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ahmad (57) kecil setiap harinya harus berjalan melalui jalan setapak dengan kontur berbukit-bukit untuk menunju Sekolah Dasar yang berjarak sekitar tujuh kilometer.
Bahkan sepatu yang digunakan setiap harinya berlahan menipis hingga rusak, karena orangtuanya yang hanya buruh tani di Desa Cibunigeulis, Kecamatan Bungursari, tak mampu membelikannya sepatu baru. Namun, anak ragil dari 10 bersaudara ini tetap bersemangat menimba ilmu meskipun dengan segala keterbatasan yang ia alami.
"Saya merupakan orang yang tidak mampu, setiap hari saya perjalanan dari rumah ke SD kira kira 7 kilometer, jalan kaki di SD Cibunigeulis Tasikmalaya, dan sepatu sampai alas kaki bawahnya habis, jalannya belum aspal dan kemampuan orang tua tidak mungkin untuk menyekolahkan," kata Ahmad menceritakan kisahnya, Kamis (2/6).
Kisah perjalanan hidupnya ia ceritakan saat Rapat Senat Terbuka yang mengukuhkan dirinya sebagai Guru Besar Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) dengan gelar Prof. Drs. Ahmad, MPd, PhD.
Pencapaian ini, diakuinya merupakan sebuah anugerah yang tak terhingga. Anak seorang petani miskin di sebuah desa terpencil dapat mencapai titik tertinggi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Bahkan, saking samangatnya menimba ilmu kala itu, suatu ketika Ahmad pernah diajak sang kakak untuk menggembala kambing dan bebek.
Namun karena terjatuh, kakinya sempat terinjak oleh kaki kambing yang tengah digembalakannya hingga membuat dirinya tak bisa berjalan.
Karena itu, selama dua bulan lamanya Ahmad harus menyeret tubuhnya dengan cara 'ngesot' agar bisa berjalan menuju sekolah.
"Suatu ketika saya ikut kakak ngangon bebek dan ngangon kambing, saya jatuh dan kaki saya terinjak kaki kambing sehingga saya tidak bisa jalan. Tapi ke sekolah tetap, saat SD di pantat pakai ban, gunanya untuk duduk jalan ngesot sejauh 7 kilometer setiap hari pulang pergi, kurang lebih selama dua bulan," cerita lulusan S2 Pendidikan matematika di UPI Bandung ini.
Lulus SD, ia pun melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMP. Kali ini jarak sekolahnya dengan rumah lebih jauh, sekitar sembilan kilometer ditempuh dengan berjalan kaki setiap harinya. Namun lagi lagi ia tak pernah menyerah akan kondisi kehidupannya.
"Begitu SMA saya ngekost, tapi dengan biaya yang sangat minim, seminggu sekali pulang dengan membawa beras dan dengan satu lawuk yang sudah matang. Jadi kesenangan saya ikan laut, jadi seminggu bisa awet," ujarnya.
Guru Besar Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang mengangkat tentang 'Blended Learning Berbasis Smart Classroom' dalam Pembelajaran Matematika ini setelah lulus SMA kemudian mengikuti tes menjadi Prajurit TNI Angkatan Darat di Bandung.
Sebagian tes yang diikuti dilaluinya dengan mudah dan membuatnya lulus, ia pun dipindah dari Bandung ke Magelang untuk mengikuti tahapan tes selanjutnya. Namun apa daya, ia gagal saat tes pantohir pada tahun 1984.
Karena tidak lolos itu, ia pun tak berani pulang ke rumahnya di Tasikmalaya. Hingga ia putuskan untuk menempuh pendidikan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah Jogja, sekarang Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan biaya kuliah dari mengajar dan berjualan buku di shoping Beringharjo.
"Karena tidak lolos, akhirnya saya tidak pulang, karena sudah kadung pergi jadi saya cari sekolah sendiri ke Jogja. Di Jogja pokoknya saya berfikir orang tua saya jangan sampai tahu kalau saya kuliah. Karena biaya kuliah isinya nangis. Kalau jual tanah semua tidak mungkin satu semester selesai, apalagi selama kuliah. Satu semester juga belum tentu cukup. Akhirnya saya cari usaha sendiri, mulai ngajar dan jualan buku di shoping Beringharjo," ujar Ahmad.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya kuliahnya itu, ketika semester dua, ia mulai mengajar di SD Muhammadiyah dan semester enam, ia mulai mengajar di SMK Negeri 3 Stasiun Tugu Gowongan Jogja.
Namun rahasia yang ia simpan itu lama kelamaan terpaksa harus ia bongkar ketika ia mendapatkan beasiswa. Di mana untuk mendapatkan beasiswa itu, diharuskan mendapatkan tanda tangan dari orangtuanya.
"Orangtua tidak tahu kalau saya kuliah. tahunya sudah semester 6 gara gara saya dapat beasiswa, harus tanda tangan orang tua," jelas Ahmad yang mengambil gelar doktor pendidikan matematika UPSI Malaysia.
Saat mengajar itulah perjalanan hidupnya terus berubah, setelah mendapatkan beasiswa, ia pun diangkat menjadi asisten dosen di IKIP Muhamadiyah Jogja sampai lulus. Lalu karirnya meningkat menjadi dosen di kampus tersebut selama dua tahun di UAD hingga akhirnya pindah ke Purwokerto.
Tak berhenti sampai disitu, ia pun ingin membuktikan apakah dosen swasta bisa menjadi PNS. Ia pun kemudian mencoba mengikuti tes PNS di tahun 1994 ketika ada pembukaan untuk dosen di wilayah Jawa Tengah. "Alhamdulillah diterima, ternyata saya dari swasta pun bisa jadi dosen PNS. Statusnya PNS diperbantukan disini," ujarnya.
Setelah dikukuhkan menjadi Guru Besar Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), ia pun memiliki obsesi untuk mengembangkan model pembelajaran matematika baik bukunya, medianya maupun materinya.
"Mudah mudahan dengan adanya tulisan saya ini bisa bermanfaat untuk pengembangan pendidikan yang akan datang. Termasuk belajar matematika yang selama ini menjadi momok, tapi dengan model pembelajaran seperti itu, mahasiswa, murid bukan menjadi momok tapi malah tertarik," tuturnya.
Sementara menurut Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jebul Suroso mengatakan jika saat ini telah memiliki 11 Profesor. Pihaknya berharap kehadiran Profesor Ahmad bisa menjadi teladan akademik dan masyarakat.
"Sangat berharap kehadiran Profesor Ahmad bisa menjadi teladan akademik dan menjadi teladan untuk bisa bermanfaat bagi masyarakat, karena tingginya marwah perguruan tinggi adalah ketika keilmuan digali sedemikian dalam, manfaat bagi masyarakat juga semakin kuat," ujarnya.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait