
SEMARANG – Kegiatan Manunggal Leadership Retreat: Ngopeni Nglakoni Jawa Tengah yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menuai kritik keras dari publik. Acara selama sepekan yang mengikutsertakan 438 peserta ini disinyalir menelan anggaran hingga Rp2,7 miliar, dan dinilai sebagai pemborosan serta tidak menjawab kebutuhan nyata peningkatan kualitas pelayanan publik.
Kegiatan tersebut diikuti oleh wakil bupati/wali kota, pejabat OPD, direktur BUMD, hingga analis kebijakan, dan diklaim sebagai wadah penguatan kolaborasi birokrasi serta penjabaran Asta Cita Presiden RI di level daerah. Namun banyak pihak menilai, substansi kegiatan ini bersifat duplikasi terhadap retret nasional yang sebelumnya telah diikuti oleh kepala daerah langsung bersama Presiden RI.
“Agenda seperti ini hanya menggandakan kegiatan yang sudah di gelar oleh pusat. Bupati dan Walikota kan sudah ikut retret dengan Presiden. Ini kesannya hanya ikut-ikutan.” ucap Mukhlis Direktur Eksekutif Pusat telaah Infromasi Regional Semarang.
Lebih lanjut, berdasarkan data dari Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP), anggaran kegiatan retreat yang disinyalir adalah anggaran untuk Manunggal Leadership mencakup:
Rp780 juta untuk narasumber dan perjalanan dinas,
Rp717 juta untuk seragam peserta,
Puluhan juta rupiah untuk tiap item kegiatan lain yang sebagian besar tidak berdampak langsung pada pelayanan publik.
Menanggapi hal ini, Ilham, Manajer Advokasi Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiros) Semarang, menyatakan bahwa kegiatan semacam ini mencerminkan ketidaktegasan dalam mengarahkan anggaran ke sektor prioritas:
“Retret ini menunjukkan betapa birokrasi kita masih kuat dengan budaya simbolik dan seremonial dibanding perbaikan sistemik. ASN tidak bisa jadi profesional hanya dengan mengikuti acara mewah selama seminggu. Reformasi birokrasi harus dibangun dari pembinaan kinerja, akuntabilitas, dan insentif yang terukur, bukan dengan kegiatan simbolik.”
“Masyarakat masih menghadapi persoalan nyata seperti layanan kesehatan yang timpang, pendidikan yang belum merata, dan kemiskinan struktural. Dalam situasi seperti itu, menghabiskan Rp2,7 miliar untuk retret yang pesertanya sebagian besar pejabat tinggi adalah bentuk salah urus prioritas. Apalagi bupati/walikota juga sudah mengikuti retreat dengan presiden, nguyahi segono namanya ini —ini pemborosan!”
Retret ini memang disebut sebagai bagian dari pemenuhan pengembangan kompetensi ASN sesuai PP No. 11 Tahun 2017. Namun, efektivitas kegiatan perlu diukur bukan dari jumlah jam pelajaran, melainkan dampaknya pada perubahan perilaku birokrasi dan peningkatan mutu layanan publik.
Masyarakat sipil mendesak Pemprov Jateng untuk mengubah orientasi belanja birokrasi: dari belanja berbasis kegiatan seremonial (by will) ke belanja berbasis kebutuhan (by needs) dan manfaat nyata bagi warga Jawa Tengah.

Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait