Waspada! Wabah Bakteri Pemakan Daging di Jepang, Dapat Menyebabkan Kematian dalam 2 hari

Ahmad Islamy Jamil
Bakteri strep Grup A yang dijuluki bakteri pemakan daging. (Foto: NIAID)

TOKYO, iNewsJatenginfo.idJepang kini dihebohkan oleh wabah infeksi langka bakteri pemakan daging. Infeksi tersebut bisa menyebabkan kematian pasien yang mengidapnya.

NBC News pada Sabtu (22/6/2024) melansir, penyakit misterius itu dinamai sindrom syok toksik streptokokus (STSS). Infeksi itu disebabkan oleh bakteri  strep Grup A, jenis yang sama yang menyebabkan radang tenggorokan dan demam berdarah dengue (DBD). Dalam kasus yang jarang terjadi, radang Grup A dapat memasuki jaringan dalam atau aliran darah.

Laporan yang dirilis Institut Penyakit Menular Nasional Jepang (NIID) pada awal pekan ini mengungkapkan, hingga 30 persen infeksi STSS berakibat fatal. Penyakit ini biasanya dimulai dengan gejala berupa demam, menggigil, nyeri otot, mual atau muntah. Gejala-gejala tersebut dapat mengancam jiwa dalam 24 hingga 48 jam jika tidak ditangani. 

Yang lebih mengerikan, kondisi itu dapat terjadi bersamaan dengan necrotizing fasciitis (NF), infeksi lain yang digambarkan sebagai “pemakan daging”. Julukan itu muncul lantaran kemampuan bakteri tersebut untuk merusak jaringan lunak di bawah kulit pasien.

Masih menurut NIID, sepanjang tahun ini Jepang telah mencatat setidaknya 1.019 kasus STSS. Jumlah tersebut adalah jumlah tertinggi yang pernah tercatat, lebih besar dari rekor penghitungan tahun lalu sebanyak 941 kasus.

Fenomena peningkatan kasus STSS tersebut mendorong para ilmuwan untuk meneliti perilaku misterius bakteri strep Grup A, baru-baru ini. Pasalnya, kasus infeksi serupa juga telah menyebar dalam jumlah yang sangat tinggi selama beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat dan Jepang. Tak jarang wabah itu menyebabkan lonjakan infeksi yang mengancam jiwa dan terkadang fatal. Pakar penyakit pun belum sepenuhnya memahami mengapa hal ini terjadi.

Di AS, jumlah infeksi strep Grup A yang serius, termasuk STSS, mencapai angka tertinggi dalam 20 tahun pada 2023, menurut data awal dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC). Tahun ini, badan itu telah mencatat 395 kasus STSS hingga 8 Juni, melebihi total tahun lalu yang hanya berjumlah 390 kasus. Namun CDC mencatat bahwa aktivitas strep Grup A telah menurun dalam beberapa bulan terakhir.

Inggris juga mengalami wabah infeksi radang Grup A yang parah pada akhir 2022, kemudian mencatat lebih banyak kasus daripada rata-rata pada September hingga Februari.

Pakar penyakit mengaitkan tren ini, sebagian, dengan meningkatnya kembali infeksi virus dan bakteri yang umum pascapandemi, termasuk strep. Pada masa pandemi, ketika orang-orang menghindari interaksi langsung, peluang penyebaran patogen tersebut lebih kecil. Sementara saat ini, masyarakat mungkin akan lebih rentan lagi karena kehidupan sudah berjalan normal lagi.

“Ini mungkin bagian dari fenomena global, yakni kembalinya penyakit strep,” kata pakar penyakit menular di Vanderbilt University Medical Center, Dr William Schaffner.

“Sebagian besar infeksi ini benar-benar berkurang selama Covid karena kita hanya berdiam di rumah dan mengenakan masker serta menutup sekolah dan sebagainya,” ujar dia.

Namun, penyakit virus lain yang melonjak seiring dengan pelonggaran lockdown dan dimulainya kembali interaksi langsung dan sosialisasi  orang-orang, tampaknya telah kembali ke kondisi semula. Sementara kasus strep terus melampaui rata-rata biasanya.

“Sejumlah infeksi telah kembali ke tingkat normal dan konvensional – tetapi infeksi streptokokus telah melampaui angka tersebut. Mengapa hal ini terjadi? Kami tidak tahu,” kata Schaffner.

Lalu siapa saja yang berisiko terkena STSS? Menurut riset, orang lanjut usia (lansia) dan penderita diabetes umumnya lebih rentan. Selain itu, kondisi luka akibat cacar air atau herpes zoster (cacar api) juga membuat orang lebih mungkin tertular. Itu dikarenakan radang Grup A dapat masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka dan berkembang menjadi STSS. 

Para ahli juga berpendapat bahwa beberapa virus dapat menyebabkan orang terkena infeksi bakteri sekunder dengan merusak saluran udara atau melemahkan sistem kekebalan tubuh. Namun dalam banyak kasus, para ahli penyakit tidak dapat menentukan bagaimana seseorang bisa sakit.

“Ketika seorang pasien datang dengan penyakit strep grup A di dalam darahnya, kecuali jika ada luka, Anda sering tidak tahu bagaimana penyakit itu bisa masuk ke dalam tubuh,” kata profesor kedokteran dan epidemiologi di Universitas of Pittsburg, Dr Lee Harrison.

Karenanya, sangat penting bagi pasien dengan STSS untuk mendapatkan pengobatan sesegera mungkin setelah gejala muncul. Mereka mungkin memerlukan antibiotik atau pembedahan untuk mengangkat jaringan yang terinfeksi bakteri ganas itu.

Sampai kini, belum ada vaksin untuk penyakit radang Grup A yang tersedia, meski beberapa vaksin sedang dikembangkan, termasuk vaksin yang tampaknya aman dalam uji coba fase 1. Harrison mengatakan, peningkatan infeksi baru-baru ini di Jepang dan AS dapat mempercepat permintaan penelitian ini.

Editor : Iman Nurhayanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network