Sementara itu, lanjut Herulest, dua korban lain yang rumahnya berdekatan dengan Slamet Andono memilih segera masuk rumah dan enggan ditemui.
"Dua orang korban lainnya, karena satu kampung dan tahu ada TNI datang, akhirnya menghindar. Mereka melihat pihak Danyonif dan Dandim datang menemui korban Slamet Andono," ucapnya.
Pascakejadian itu, para korban segera menghubungi Tim Hukum TPN Ganjar-Mahfud dan meminta agar pihak TNI tidak menemui mereka dulu.
"Kasihan, mereka masih sangat trauma. Korban bercerita sama saya, 'Kok saya jadi teringat lagi ya saat di jalan dikeroyok sama mereka, pak.' Nah ini artinya memang belum sembuh traumanya. Biarkan dulu pulih, proses hukum biarkan juga sedang berjalan," katanya.
“Selain itu, kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Denpom 4 Surakarta hingga mencapai kepastian hukum. Yang jelas tindakan main hakim dengan alasan apa pun tidak diperbolehkan secara hukum di negara kita,” ujarnya.
Advokat asal Solo ini menegaskan, dalam budaya ketimuran, kunjungan silaturahmi dapat diterima, namun bukan merupakan upaya perdamaian.
"Untuk itu Dandim Boyolali dan Danyonif supaya menahan diri untuk tidak mengunjungi para korban, supaya para korban pulih psikologisnya, dan harapan dari kami penasihat hukum korban perkara ini segera dilimpahkan ke Pengadilan Militer Semarang, hingga mendapat putusan hakim Pengadilan Militer yang memuaskan para korban karena mengalami tindak penganiayaan," katanya.
Sebagaimana diberitakan, penganiayaan oleh oknum aparat TNI dari Yonif Raider 408/Suhbrastha Boyolali itu terjadi pada 30 Desember 2023 lalu. Akibatnya, 7 orang mengalami luka-luka, termasuk Slamet Andono dan rekannya yang luka berat.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait