Sebagai orang Indonesia yang bersuku Jawa, kami merasakan semakin pudarnya pemakaian bahasa Jawa dalam komunitas keluarga besar kami. Terutama bahasa Jawa kromo inggil maupun ”kromo mudho”. Pernah suatu ketika keponakan saya berusia kelas 4 Sekolah Dasar bilang ke saya : ”Pakdhe matamu abang kenapa (Pakdhe mata kamu merah kenapa)?”. Saat itu saya tersadar bahwa bahasa dan budaya Jawa tidak biasa dipakai dalam komunikasi keluarga adik kami, ataupun diajarkan sebagai bahan pendidikan “muatan lokal (local genius)” di sekolahnya. Padahal bahasa daerah sebagai sebuah budaya, mempunyai norma dan etika sosial yang menjadi ciri khusus bagi setiap bahasa daerah.
Indonesia juga memiliki keanekaragaman budaya dan kekayaan bahasa terbanyak di dunia. Dengan keunikan dan kekayaan suku bangsa, budaya dan bahasa menyatu menjadi satu bangsa yang memunculkan keindahan. Sebagai sebuah bangsa kita bersyukur memiliki bahasa persatuan Bahasa Indonesia, sebagai salah satu pilar kebangsaan selain UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Bendera Merah Putih, diatas Dasar Negara Pancasila. Muhammadiyah menarasikan NKRI berdasarkan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, sebuah negara hasil konsensus nasional dan persaksian seluruh rakyat Indonesia sejak diproklamasikan 17 Agustus 1945.
Sebagai bangsa Indonesia yang besar penduduknya, luas wilayahnya dan multi-etnik, kita wajib bersyukur memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kita dapat membayangkan, jika seandainya para pemuda tidak mendeklarasikan Soempah Pemoeda 1928 : satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia. Dan akhirnya Bahasa Indonesia disepakati menjadi bahasa resmi negara dan bahasa persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti termaktub di dalam konstitusi UUD 1945.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait