Gerakan protes aktivis Perempuan dengan diberlakukanya PKPU no. 10 Tahun 2023, masih terus digaungkan. Protes tersebut disebabkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota, berpotensi membuat keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif (caleg) di bawah 30%. karena pada Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 disebutkan bahwa penghitungan 30% jumlah bakal Calon perempuan disetiap dapil yang menghasilakan angka pecahan dan dua tempat desimal dibelakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan kebawah.
PKPU No. 10 Tahun 2023 tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang secara tegas mengamanatkan bahwa daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.
Padahal, hak-hak politik perempuan merupakan amanat undang-undang tentang politik afirmasi (affirmative action) kuota 30 persen keterwakilan perempuan yang belum tertunaikan secara ajek dari pemilu ke pemilu. Amanat yang bersumberkan suara-suara perempuan serta berdasarkan kesadaran kolektif atas pentingnya penghapusan ketidakadilan jender dalam setiap ruang politik. Tindakan Afirmatif dengan pemberian kuota 30% bagi kaum perempuan, merupakan Hak Konstitusional yang harus dipandang dengan proporsional dengan tidak mengesampingkan hak kedaulatan rakyat. Sebagai stake holder utama dalam negara Demokratis, adalah hak rakyat untuk memilih para wakilnya untuk duduk diparlemen. Pengabaian terhadap hak rakyat untuk memilih para wakilnya merupakan pencederaan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Sejarah Affirmative Action
Keterlibatan perempuan dan laki-laki dibidang politik adalah bagian tidak terpisahkan dalam proses Demokratisasi. Sebelum Indonesia di Proklamirkan, kaum perempuan sudah melakukan perjuangan karena adanya kesadaran perempuan akan ketertinggalanya dibanding laki-laki dalam berbagai aspek. Sejak Kongres Wanita Indonesia Pertama pada Tahun 1928 yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa Nasionalisme dikalangan perempuan merupakan tonggak sejarah dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam bidang politilk.
Sejak Pemilu 1987, persentase perempuan di DPR tidak pernah turun dari dua digit: 1987 (13,0%), 1992 (12,5%), dan 1997 (10,8%). Namun persentase perempuan di DPR hasil Pemilu 1999 hanya 9,0%.Keadaan itulah yang mendorong organisasi-organisasi perempuan melancarkan gerakan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmasi (affirmative action) dalam bentuk kuota 30% perempuan dalam pemilu demokratis. Sebab, berdasarkan pengalaman banyak negara penerapan kebijakan afirmasi dalam sistem pemilu, terbukti berhasil signifikan meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.
Buah perjuangan itu terlihat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU No. 31/2002) dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 12/2003).
Pasal 13 ayat (3) UU No. 31/2002 mengintroduksi perlunya keadilan gender dalam kepengurusan partai, dan Pasal 65 ayat (1) UU No. 12/2003 untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif.
Setelah dipraktekkan melalui Pemilu Legisaltif 2004, ketentuan undang-undang pemilu itu berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Jika jumlah anggota perempuan DPR hasil Pemilu 1999 adalah 45 orang atau 9% dari 500 anggota, maka hasil Pemilu 2004 jumlahnya meningkat menjadi 61 orang atau 11% dari 550 anggota DPR.
Pada Pemilu Legisaltif 2009, pada saat DPR dan pemerintah menyusun undang-undang politik baru, organisasi-organisasi perempuan kembali berjuang dengan target agar formulasi kebijakan afirmasi kuota 30% perempuan di undang-undang lebih kongkrit dan lebih menguntungkan perempuan.
Sebagaimana terlihat dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU No. 2/2008) dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (UU No. 10/2008).
Pasal 2 ayat (5) UU No 2/2008 secara eksplisit mengharuskan partai politik menempatkan sedikitnya 30% perempuan dalam kepengurusan partai. Sedang untuk mempertegas kuota 30% perempuan, Pasal 55 ayat (2) UU No. 10/2008 mengadopsi susunan daftar calon model zipper yang dimodifikasi: dalam setiap tiga calon, sediktinya terdapat satu calon perempuan. Hasilnya Pemilu 2009, menunjukkan keterwakilan perempuan sebesar 18 persen atau 101 orang, Pemilu 2014 mencapai 14,32 persen atau sebanyak 97 orang, dan Pemilu 2019 mencapai 20,5 persen atau 118 orang (Kompas.com, 26/07/2019).
Melalui Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dalam Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958 (UU Hak Politik Perempuan) dan Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 (UU Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women/CEDAW), sejatinya merupakan jaminan perlindungan konstitusional terhadap kaum perempuan yang merupakan derivasi dari pasal 27 ayat (1) dan pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan poerlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dalam konteks norma ini, kaum perempuan dikontruksikan sebagai pihak yang berhak untuk menerima perlakuan khusus agar mencapai persamaan dan keadilan dalam bidang politik, khususnya meningkatkan keterwakilan kaum perempuan sebagi anggota DPR.
Minimnya jumlah keterwakilan perempuan di DPR tentu tidak lagi dapat dilihat bahwa kedudukan kaum perempuan dan laki-laki harus didudukan setara dalam bidang politik, melainkan harus diupayakan tindakan afirmatif (Affirmative Action) yang bersifat khusus kepada kaum perempuan sehingga kedudukanya dapat disetarakan dengan laki-laki.
Imbas PKPU No. 10 Tahun 2023
Menurut perhitungan Dosen Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, ketentuan pembulatan kebawah ini akan membuat keterwakilan perempuan tak mencapai 30% didapil dengan jumlah kursi 4,7,8 dan 11. Dari total Dapil DPR RI sebanyak 84 dapil, berdasarkan simulasi ketentuan pembulatan kebawah ini akan berdampak terhadap 38 Dapil DPR RI. Artinya jumlah caleg perempuan akan berkurang 38 orang dalam satu partai. Jika dikalikan dengan 18 Partai politik peserta Pemilu 2024, maka caleg perempuan akan berkurang 684 orang. Jumlah angka yang cukup besar bagi kesempatan perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam bidang politik khususnya sebagai Caleg Legislatif di Pemilu 2024.
Dari hal tersebut pembuat undang-undang dan KPU RI sebagai pelaksana dan penyelenggara Pemilu seakan abai dengan lintasan perjuangan perempuan untuk dapat terlibat aktif dalam kontestasi politik melalui Afirmasi 30% keterwakilan perempuan dan menghianati Undang-undang Pemilu no. 17 tahun 2017 pasal 245 yang menyatakan Daftar Bakal Calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Oleh Karenanya, Bawaslu dapat menerbitkan rekomendasi agar KPU harus menjalankan amanat rundang-undang yang menjamin keterwakilan perempuan sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD. Apabila KPU mengabaiakn rekomendasi Bawaslu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 76 Ayat (2) UU Pemilu, Bawaslu diberi Hak Hukum untuk mengajukan Permohonan Pengujian Material kepada Mahkamah Agung.
Sebagai sarana Integrasi Bangsa, Pemilu haruslah menjadi manifestasi kehendak bangsa untuk menuju Indonesia yang Adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan sesuai cita-cita para Founding Fathers yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Hal itu tidak dapat mewujud jika hak-hak konstitusional Perempuan sebagai warga negara untuk dipilih diamputasi. Untuk itu sebagai bentuk kedaulatan rakyat, hak politik Perempuan harus segera dipulihkan melalui Revisi pasal 8 PKPU No 10 Tahun 2023 yang diskriminatif. Dengan harapan besar keterwakilan Perempuan dapat meningkat dalam Pemilu 2024 esok. Semoga.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait