Ketika RSP hadir menjadi perbincangan seru dunia sastra. Media cetak edisi hari Minggu selalu memuat tentang RSP. Baik yang pro maupun yang kontra.
22 November 1994 menjadi Puncak polemik RSP tepatnya saat diselenggarakan perhelatan "Debat Sastra Pedalaman" di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta, dengan menghadirkan pembicara yaitu Faruk HT, Ahmad Tohari, dan Beno Siang Pamungkas.
Sebenarnya gerakan RSP bertujuan menghindari pemusatan sosialisasi nilai-nilai sastra hanya di Jakarta saja. Tujuan lain adalah menciptakan ruang baru karena saat itu surat kabar atau media cetak seakan-akan menjadi satu-satunya cara menyosialisasikan karya.
RSP bergerak dengan membentuk jaringan serta komunikasi dengan kantung-kantung budaya di mana saja, dan dengan siapa saja.
Model gerakan RSP ini memang membuahkan hasil tak mengecewakan. Saat itu kegiatan-kegiatan budaya di luar Jakarta frekwensinya meningkat. Kehadiran kantong-kantong budaya juga tumbuh subur.
Karya-karya yang bermunculan juga semakin variatif dan tidak didikte oleh standar-standar estetika ibu kota. Geliat serupa yang berorientasi pada pedalaman juga terjadi di Sumatra dan Bali. Setiap daerah punya format dan strategi berbeda dalam mengungkapkan estetika lokal yang khas, tetapi faktor pemersatu berbagai gerakan ini adalah ketidakpuasan mereka terhadap Jakarta.
Dalam peluncuran Panen, Sosiawan Leak ikut hadir bersama Triyanto Triwikromo. Tiga eksponen RSP ini berkisah hal-hal ringan saat masih menempuh jalan yang sama.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait