Rabu siang, 9 November 2022 saya berjalan menuju Stasiun Weleri untuk naik KA Kamandaka. Saya terperangah menyaksikan kondisi Pasar Weleri yang penuh tanaman kersen dan ilalang pasca kebakaran 2 tahun lalu, tepatnya 12 November 2020.
Saya masih ingat bagaimana adik-adik dan 2 anak saya berusaha menyelamatkan dagangan pakaian (garmen) milik ibu dan saudara. Bahkan selama 2 hari 2 malam saya membersamai relawan MDMC Weleri, Tim Damkar dan LPB Kendal memadamkan api.
"Lek, kit kapan pager seng dicopoti" ? (Lek, sejak kapan pagar seng dilepas), tanya saya ke pengemudi becak yang mangkal di sebelah barat Pasar.
"Kit kolowingi siang pak khafid" (sejak kemarin siang/8-11-2022), jawabnya sambil salaman.
"Badhe tindak pundi pak", (mau pergi kemana pak) tanyanya.
"Arep menyang Purwokerto" (mau pergi ke Purwokerto) jawab saya.
Setelah memotret beberapa gambar, saya pamitan menuju stasiun.
Sudah setahun lebih bangunan pasar yang terbakar dipagari galvalum oleh pemkab Kendal. Alih-alih menunaikan janji untuk segera membangun kembali pasar Weleri, pada pagar galvalum yang mengitari pasar dipasangi sepanduk MMT berisi "ancaman pidana bagi pedagang yang memanfaatkan tanah milik pemda Kendal". Sebuah laku rezim Orde Baru-Baru ini di Kendal yang jauh dari nilai 'kemanusiaan yang adil dan beradab' dan hanya menggunakan pendekatan kekuasaan semata.
Pasar penampungan di terminal Bahurekso Jenarsari Gemuh---2 kali ambruk diterjang angin lisus---yang dikerjakan PT Aldila sudah ditinggalkan oleh hampir semua pedagang. Sekarang mereka berjualan di rumah, menyewa kios Pasar Desa Penyangkringan atau menumpang di teras dan halaman rumah penduduk sekitar Pasar Tlongopan Nawangsari Weleri.
"Kulo mboten kiat dodolan teng mriko pak. Saben dino tombok 30-50 ribu" (Saya tidak kuat berjualan di pasar
penampungan pak. Setiap hari rugi Rp 30-50 ribu), tutur Yu Satun, penjual daging ayam yang mangkal di Pasar Tlongopan.
Ciri Pasar Tradisional
Pasar tradisional adalah warisan budaya adiluhung bangsa yang sudah ada, tumbuh dan bertahan hingga sekarang. Hampir di setiap daerah se Indonesia memiliki pasar tradisional.
Terdapat beberapa ciri pasar tradisional yang tidak dimiliki oleh pasar modern, antara lain :
Pertama, tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi barang dan jasa dengan cara tawar menawar secara langsung. Harga ditetapkan berdasarkan "kesepakatan dan kerelaan" kedua belah pihak.
Transaksi tidak hanya didasarkan pada 'profit oriented' (orientasi keuntungan) semata, namun lebih ke arah "benefit oriented" (orientasi kemanfaatan/keberkahan). Banyak kita temui transaksi yang demikian di pasar tradisional.
Sehingga ungkapan syukur "sebagai penglaris (bukak dasar)" pada transaksi pertama pagi hari jamak dilakukan. Meskipun penjual tidak mendapatkan keuntungan alias "bak-buk" (Harga Pokok Pembelian).
Kedua, sebagai "sumber nafkah" banyak pihak yaitu sektor informal (bekerja tanpa ijasah) yang terserap diantaranya : tukang becak, buruh panggul dan bongkar muat barang, juru parkir, jasa keamanan/penjaga malam, tukang pijat urut, makelar dan sebagainya. Juga lapangan kerja formal seperti karyawan/wati toko, salesman/girl dan tenaga administrasi.
Sejak pasar Weleri terbakar, 4.000 orang lebih pekerja sektor informal dan formal menjadi pengangguran.
Belum terhitung berapa nasabah bank dan kospin yang berhenti menabung dan meminjam uang. Juga potensi ZIS yang menurun dari para pedagang yang terbiasa menunaikan kewajiban agama melalui LAZISMu dan LAZISNU.
Ketiga, sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar bagi Pemda, berasal dari retribusi, biaya sewa kios/loos, parkir dan pajak daerah lainnya. Perkiraan saya sejak tahun 1995 hingga 2020, pedagang pasar Weleri menyumbang PAD Kendal lebih dari Rp 250 Milyar.
Jika ada niat baik (political will) dari Pemkab Kendal dan DPRD Kendal tentu mengalokasikan pembangunan kembali Pasar Weleri sebesar Rp 100 Milyar bukan angka yang terlalu besar.
Keempat, tumbuh dari bawah dan sarat dengan kearifan lokal (local wisdom) : budaya gotong royong, kekerabatan sosial, rasa kemanusiaan (sense of humanity) yang masih terjaga.
Belum ada ceritanya seorang pencopet yang biasa beraksi di sebuah pasar melakukan pencopetan terhadap pedagang pasar tradisional. Apalagi jiwa welas asih-asah-asuh di kalangan pedagang sangat tinggi.
Kelima, ekonomi "padat karya" (ekonomi Pancasila) lebih mendominasi dibandingkan pasar modern yang "padat modal" (liberal-kapitalisme). Adanya keragaman produk yang dijual serta berasal dari sumberdaya lokal atau produk dalam daerah, menyatu dalam satu lokasi yang sama.
Keenam, kemandirian pedagang pasar tradisional sangat tinggi. Pedagang pasar tradisional tidak tergantung dengan bantuan sosial dari pemerintah. Cukuplah pedagang disediakan bangunan pasar yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah, Pemdes atau Perusda.
Sediakan fasilitas pendukung yang baik bagi pedagang dan pengunjung. Jangan bebani pedagang dengan aneka cicilan dan pungutan yang berlebihan. Jika pemkot Solo dan beberapa pemkab lain di Jawa Tengah bisa melakukan mengapa Pemkab Kendal tidak meniru melakukan hal yang baik buat rakyatnya.
Harapan Pedagang
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, nasib 1.800-an pedagang korban kebakaran pasar Weleri 2 tahun lalu. Disaat muncul semangat dan ihtiar untuk bisa memulai berdagang kembali, justru pemkab Kendal membuat langkah yang tidak bijaksana.
Melalui sosialisasi kepada sebagian pedagang oleh Dinas Perdagangan Koperasi dan UKM (Disdagkop UKM) menyatakan bahwa Pemkab Kendal akan membangun Sport Center di lahan Pasar Hasil Bumi (Weleri II) dan memindahkan pedagang ke lokasi penampungan di tanah ex Batalyon 408 Weleri. Selain meresahkan juga membuat stress banyak pihak, terutama pedagang.
Pembangunan brak di lahan kosong terminal angkutan telah dilakukan beberapa minggu ini. Padahal paska kebakaran 2 tahun lalu, usulan agar lokasi ini menjadi salah satu tempat penampungan pasar sementara ditolak pemkab Kendal. Menunjukkan Pemkab Kendal tidak memiliki perencanaan yang baik dan matang.
Pemkab Kendal barangkali lupa bahwa ada postulat yang melekat pada diri pedagang pasar tradisional. Yaitu "Pemerintah boleh membangun dan memaksa pedagang untuk menempati bangunan kios/loos pasar yang telah dibuat. Tetapi pemerintah tidak akan pernah bisa memaksa pembeli/konsumen untuk datang ke pasar yang dibangun".
Konon pasar Weleri dahulu lahir atas restu Nyi Pandansari yang menunjukkan lokasi awal tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar Weleri sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Menyatu dengan tata ruang Stasiun Weleri yang juga sudah ada sejak jaman Belanda. Sehingga lahan stasiun Weleri sebagai sarana mobilitas orang dan barang berhimpitan lahan dengan Pasar Weleri.
Harapan pedagang akan dibangunnya kembali pasar Weleri kembali muncul setelah beberapa waktu lalu DPRD Kendal bersama Disdagkop UKM Kendal mengadakan Sosialisasi "Optimalisasi Pemanfaatan Sarana Distribusi Perdagangan Dalam Pengembangan Usaha Pedagang Pasar" di Balai Desa Penyangkringan Weleri, Aula kecamatan Gemuh dan Ringinarum.
Wakil Ketua DPRD Kendal dari PDIP, Drs. H. Ahmad Suyuti, kakak kelas saya di SMA Muhammadiyah Weleri, menyatakan : "Saya akan berjuang mengalokasikan Rp 50 Milyar untuk pembangunan kembali pasar Weleri pada TA 2023. Saya minta dukungan segenap pedagang pasar Weleri untuk bisa meng-gol-kan anggaran itu".
Sebagai pedagang pasar dan keluarga pedagang korban kebakaran pasar Weleri, pernyataan Wakil Rakyat itu seperti siraman air di tengah teriknya panas siang hari. Menyejukkan hati bagi 50-an pedagang yang hadir di forum itu.
Pada saat sesi tanya jawab, saya menyampaikan pernyataan, sebagai berikut :
"Pada saat Pilkada, semua cabup/cawabup datang ke pasar Weleri minta dukungan pedagang agar bisa menjadi Bupati/Wakil Bupati. Tetapi pada saat terjadi kebakaran pasar Weleri, perhatikan apa yang disampaikan dan dikerjakan untuk mendukung pedagang kembali berdagang secara normal, apalagi setelah terkena pandemi Covid-19 selama 2 tahun".
Kemudian saya mengingatkan kepada semua yang hadir di forum itu :
"Seorang pedagang pasar mampu melahirkan banyak anak menjadi pejabat, wakil rakyat, kepala daerah, polisi, TNI, guru, dosen, ustadz, menteri bahkan presiden. Tetapi seorang pejabat dan wakil rakyat belum tentu bisa melahirkan seorang pedagang pasar tradisional yang handal"
Hari ini, Sabtu 12 November 2022 tepat 2 tahun pedagang Weleri mengadakan 'khaul' seraya memanjatkan doa kepada Allah atas 'kematian' Pasar Weleri akibat kebakaran. Semoga hari ini merupakan khaul terakhir dengan dibangunnya kembali Pasar Weleri pada tahun anggaran 2023. Ya Allah Tuhan Sekalian Alam, berilah hidayah ihsan kepada para pemimpin kami di kabupaten Kendal.
Weleri, 12 November 2022
*) Departemen Advokasi dan HAM DPW APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia) Jawa Tengah dan Pj. Ketua DPC APPSI Kabupaten Kendal.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait