Dukungan investor dalam pembangunan ekonomi nasional menjadi pilihan strategis dalam rangka memulihkan perlambatan ekonomi, pasca pandemi global akibat Covid19. Di tengah keterbatasan APBN, investasi berperan mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat dan mengantarkan Indonesia menjadi negara maju.
Menurut direktur center of economic and law studies (celios), Bhima Yudhistira, prosentase jumlah investor Indonesia masih sangat rendah yakni berkisar di angka 0,8 persen dari total jumlah penduduk Indonesia saat ini. Angka tersebut masih tertinggal sangat jauh dari negeri tetangga, Malaysia, yakni di angka 32,4 persen.
Terlebih dibandingkan Jepang yang telah menyentuh angka 48,3 persen dari total penduduk. Artinya, negeri ini masih sangat jauh untuk mengejar ketertinggalan dari sisi ini. Perlu ada upaya yang lebih masif dan besar untuk mendongkrak itu semua.
Yang Muda yang Berinvestasi
Dalam sebuah publikasi: “Analisis Profil Penduduk Indonesia, Mendeskripsikan Peran Penduduk dalam Pembangunan”, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, antara rentang tahun 2012 sampai dengan 2035, Indonesia akan memasuki masa puncak bonus demografi antara tahun 2020 sampai dengan 2030.
Di tahun 2020 sampai dengan 2030 ini, jumlah penduduk usia produktif mencapai dua kali lipat jumlah penduduk usia anak dan usia lanjut. Jumlah usia produktif yang sangat besar ini,tentu memiliki dampak yang signifikan bagi ketersediaan sumber tenaga produksi, pelaku kegiatan ekonomi, sekaligus potensi konsumsi yang besar pula.
Hal ini sangat diperlukan dalam proses percepatan pembangunan. Terlebih bagi para investor karena telah tersedia sumber daya manusia yang cukup besar yang produktif dan potensial untuk dikembangkan. Di samping itu, selain peningkatan produktifitas, Indonesia menjadi pangsa pasar yang sangat besar karena didukung jumlah penduduk yang juga semakin besar. Ketika sektor produksi meningat, maka dibutuhkan modal kerja yang lebih besar pula.
Dan saat itu pula, menjadi sinyal positif bagi para investor masuk dan meningkatkan jumlah investasinya. Baik investor dalam negeri maupun investor asing memiliki kesempatan yang sama, untuk masuk dan berkembang. Melihat peluang yang demikian besar, apakah kita hanya akan menjadi penonton dan larut dalam gegap gempita kemajuan zaman, ataukah kita akan turut serta ikut andil/ ambil bagian dan menjadi pemenang di negeri kita sendiri?, kita sendiri yang menentukan.
Yang perlu juga kita pahami bahwa saat ini, berinvestasi tidak selalu harus dimulai dari kapital yang besar. Sejak 12 November 2015 oleh wakil presiden Republik Indonesia Bapak Muhmmad Yusuf Kalla di Main Hall gedung Indonesia Stock Exchange telah diluncurkan kapanye “Yuk Nabung Saham/ YNS”.
Gerakan ini merupakan sebuah kampanye yang diselenggarakan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) yang bertujuan untuk mengajak masyarakat sebagai calon investor untuk berinvestasi di pasar modal dengan membeli saham secara rutin dan berkala.
Salah satu bentuk nyata kampanye ini yakni diadakannya Sekolah Pasar Modal (SPM, baik level satu maupun lanjutan) oleh BEI yang tersebar di setiap provinsi di Indonesia secara gratis. Ini sebagai upaya pemerintah mengedukasi masyarakat negeri ini untuk mengenal instrumen pasar modal dan turut serta andil membangun bumi pertiwi, Indonesia.
Selain itu, di waktu yang bersama pemerintah juga telah menurunkan batas minimal (lot) pembelian surat berharga (saham) dari 500 lembar menjadi 100 lembar. Dua hal ini menjadi daya tarik yang besar, sehingga mampu mengakomodir pasar modal ritel (saham) yang bukan hanya menyasar kalangan menengah atas (high end), namun sampai pada kalangan menengah bawah (low end).
Dari kampanye program “Yuk Nabung Saham”, PT Kustodian Sentral Efek Indonesia atau KSEI mencatat ada perubahan yang signifikan terkait prosentase kepemilikan saham lokal dan asing. Yakni pada tahun 2014, kepemilikan modal lokal menyentuh angka 40,71 persen sedangkan kepemilikan asing sebesar 59,29 persen.
Kemudian di bulan februari tahun 2021, kepemilikan modal lokal telah mencapai angka 58,82 persen, sedangkan kepemilikan asing di angka 41,18 persen. Artinya selama kurun waktu tujuh tahun kampanye ini berjalan, kepemilikan lokal telah meningkat sebanyak 18,11 persen.
Berbanding terbalik dengan awal kali gerakan ini dikampanyekan. Dengan struktur kepemilikan lokal yang dominan, ini menjadi indikator permodalam nasional yang sehat. Pencapaian ini tentu sangat luar biasa, menjadikan negara kita berdikari. Menuju ke arah kemandirian ekonomi, dan semakin memperkecil pengaruh ekonomi global kepada ekonomi nasional. Semoga optimisme bangsa ini semakin baik, dan terwujudlah cita-cita besar bangsa kita lebih cepat dari yang telah dicanangkan sebelumnya.
Oleh : Mucharror Djazuly, M.Pd
Dosen Universitas Negeri Islam Salatiga
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait