THE POWER OF EMAK-EMAK (Bagian Kedua)

*Oleh Khafid Sirotudin
Pengembangan pelaku dan produk UMKM di lingkungan persyarikatan tidak bisa dilaksanakan tanpa sinergi dengan UPP. Foto: Ist

KENDAL, iNewsJatenginfo.id - Sejak awal rembugan LP-UMKM PWM dan MEK PWA Jateng, kami berkomitmen bahwa pengembangan pelaku dan produk UMKM di lingkungan persyarikatan tidak bisa dilaksanakan tanpa sinergi dengan UPP (Unit Pembantu Pimpinan : Majlis, Lembaga, Biro), Organisasi Otonom (Ortom), AUM (Amal Usaha Muhammadiyah), BUMM (Badan Usaha Milik Muhammadiyah), BUMWM (Badan Usaha Milik Warga Muhammadiyah) dan Pihak lain yang memiliki komitmen untuk bergotong-royong, berjamiyyah dan kolaborasi memajukan UMKM. Tema yang diangkat Rakerwil kali ini “Inklusi UMKM Muhammadiyah dan Pengembangan Ekonomi Perempuan Berkemajuan”. Mengingat fakta di lapangan bahwa pelaku UMKM di Jawa Tengah sebagian besar adalah perempuan.

Kekuatan, ketelitian, kesabaran dan kesetiaan terhadap profesi dan aktivitas ekonomi UMKM Perempuan mayoritas berbasis usaha dan Industri Rumah Tangga (IRT : Industri Rumah Tangga). Selaras dengan fungsi domestik seorang ibu sebagai Kepala Rumah Tangga dan Bapak sebagai Kepala Keluarga. Sesuai dengan apa yang pernah diajarkan oleh para sesepuh Jawa di masa lalu : “wong wedok ngelu sirahe nang njero omah, wong lanang sirahe ngelu nang njobo omah” (perempuan kepalanya pusing di dalam rumah, lelaki pusing kepalanya di luar rumah).

Pandemi covid-19 selama 2 tahun telah meluluhlantakkan perekonomian global. Tak terkecuali Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia. Beruntung pemerintah mengambil kebijakan yang relatif baik, bergandengan tangan dengan berbagai organisasi masyarakat dan kekuatan bangsa lainnya selama menghadapi pandemi covid-19. Partisipasi Muhammadiyah melalui MCCC, MDMC, RSMA dan relawan sosial dari Majelis-Lembaga-Ortom terbukti memiliki kontribusi yang sangat besar–jikalau bukan yang terbesar–dan diakui berbagai kalangan. 

Keberhasilan kolektif segenap komponen anak bangsa menghadapi pandemi covid 19, setidaknya terlihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan Jawa Tengah selama pandemi, masa endemi dan pasca pandemi yang masih lebih baik dibandingkan negara lain. Recovery ekonomi pasca pandemi banyak disumbang oleh pelaku ekonomi skala mikro, kecil dan menengah. Pelaku UMKM lebih cepat, lebih gesit dan lebih adaptif dalam memulai aktifitas bisnis dibandingkan pelaku bisnis dan industri skala besar. UMKM tidak terlalu ribet dan njlimet dengan feasibility study, target-target profit dan sejenisnya. Gerak kebangkitan ekonomi pelaku UMKM pada masa endemi dan era new normal, sebagaimana dinyatakan pepatah Jawa : “sopo ubet biso ngliwet, sopo obah biso mamah” (siapa mau berihtiar kreatif pasti bisa menanak nasi, siapa mau bergerak pasti bisa makan).

Meningkatnya angka pengangguran baru akibat PHK massal dari sektor industri besar dimasa pandemi memunculkan permasalahan sosial-ekonomi baru bagi keluarga korban PHK. Apalagi kebanyakan pengangguran baru itu adalah laki-laki kepala keluarga. Uang pesangon dari perusahaan hanya bisa bertahan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga selama beberapa bulan. Selebihnya musti mencari sumber pendapatan alternatif bagi keluarga. 

Disinilah peran perempuan sebagai penopang pendapatan tambahan bagi keluarga sangat penting dan berarti. Usaha yang paling mudah dan banyak dilakukan perempuan dari rumah adalah membuat aneka makanan dan minuman yang dibutuhkan masyarakat sekitar. Saya masih ingat bagaimana istri dibantu anak-anak di rumah membuat dan menjual aneka minuman es buah yang dikemas apik dalam wadah plastik dan disimpan dalam kulkas show case. Meski “ora nyugihi, tapi biso nguripi” (walau tidak bisa membuat kaya, tetapi bisa menghidupi) bagi sesama. Beberapa reseller ikut menjualkan produk pangan buatan istri melalui WA-Group dan laman sosmed lainnya. Sebuah keberkahan tersendiri mampu membantu orang lain dikala pandemi melanda.

Sektor pangan banyak mendominasi pelaku UMKM Perempuan hingga saat ini, dengan berbagai jenis dan beragam produk mamin (makanan minuman). Tak terkecuali di kalangan Aisyiyah yang terhimpun dalam BUEKA (Badan Usaha Ekonomi Aisyiyah), alumni SWA (Sekolah Wirausaha Aisyiyah) dan MEK (Majlis Ekonomi dan Ketenagakerjaan) PW/PD/PC Aisyiyah di Jawa Tengah. Setidaknya terlihat pada saat LPUMKM mengadakan Workshop UMKM Perempuan di SMA Muhammadiyah 1 Klaten beberapa bulan lalu. Dari 100 pelaku UMKM Perempuan yang hadir, 90 persen diantaranya adalah produsen pangan. Terlihat dari banyaknya sampel produk mamin yang dibawa saat mengikuti kegiatan workshop.

Berdasarkan atas realitas tersebut, maka LP-UMKM Jateng mengadakan kerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam usaha mengembangkan UMKM Perempuan di Jawa Tengah, khususnya bagi warga Aisyiyah. Selain sektor pangan, kami juga mengembangkan sektor sandang bagi UMKM Perempuan. Pada kegiatan Rakerwil kali ini, kami mengundang Menteri PPPA untuk memberikan pencerahan terkait aksesibilitas program pemerintah dalam pemberdayaan perempuan. Meski ibu Menteri PPPA berhalangan hadir, namun beliau menyampaikan pesan dan sambutan melalui video tapping yang ditayangkan melalui LCD Projector. Sedangkan materi dari KPPA diwakili dan disampaikan oleh Staf Khusus Menteri PPPA bidang kewirausahaan, Samuel Wattimena. 

Masalah UMKM Perempuan

Selain sektor pangan, sebagian perempuan pelaku UMKM cukup banyak yang bergerak di sektor sandang. Kedua sektor itu, kita sering menyebutnya dengan frase “Sandang-Pangan”. Untuk urusan sandang kita mafhum manakala perempuan lebih unik, lebih beragam dan lebih fashionable dibandingkan laki-laki. Bahan, model, corak, bentuk, warna pakaian wanita lebih bervariasi daripada pakaian pria. Kata guru ngaji saya, kata “mar’ah” (wanita) serumpun dengan kata “mir’ah” (cermin). Maka tidaklah mengherankan jika seorang wanita lebih memperhatikan penampilan dalam berpakaian dibandingkan pria. Pepatah Jawa mengatakan “ajining rogo seko busono” (raga lebih terlihat dan bermakna dari busana yang dikenakan).

Terdapat “4 Tas” permasalahan yang dihadapi pelaku UMKM Pangan yaitu legalitas, kualitas, kuantitas dan kontinyuitas. Soal legalitas usaha, masih banyak pelaku UMKM Pangan yang belum memiliki NIB (dahulu SIUPP/TDP), surat ijin PIRT (Pembinaan Industri Rumah Tangga), label Halal dan Logo/Merk yang terdaftar. Aspek kualitas produk pangan belum sepenuhnya terjaga dan terstandarisasi dengan packaging yang baik. Begitu pula skala produksi yang belum bisa memenuhi kebutuhan secara kuantitas dalam jumlah tertentu serta dalam waktu tertentu. Misalnya ketika kita mendadak membutuhkan snack sejumlah 100 box dalam waktu 30-60 menit, tetapi pelaku UMKM produsen kudapan hanya mampu menyediakan 50 box.

Masalah kontinyuitas atau kesinambungan produk juga seringkali dihadapi para pelaku usaha mikro kecil perempuan bidang pangan skala rumah tangga. Kita bisa bayangkan bagaimana stressnya perempuan ketika harus memenuhi pesanan mamin besok pagi, sementara malam hari sebelumnya ada anaknya yang tiba-tiba sakit demam tinggi dan harus dirujuk ke rumah sakit. Atau ketika sang suami tiba-tiba merajuk karena keinginan untuk dilayani tidak terpenuhi. Melihat berbagai tantangan dan permasalahan yang melingkupi perempuan pelaku usaha mikro kecil bidang pangan, mendorong kami semakin bersemangat menjalankan amanat sebagai pimpinan LPUMKM PWM Jateng, bersinergi dengan MEK PWA Jateng.

Adapun beberapa permasalahan yang dihadapi UMKM bidang sandang, diantaranya soal pasokan bahan baku, desain, teknologi dan membanjirnya produk sandang impor yang murah. Dibutuhkan political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan pemerintah daerah agar industri kecil dan menengah penghasil produk sandang, serta industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mampu bertahan dan berkembang di Jawa Tengah dan Indonesia. 

Sebenarnya kita memiliki kekayaan intelektual dan budaya sandang yang luar biasa banyaknya. Dua diantaranya adalah batik dan tenun ikat. Hampir setiap wilayah di Indonesia dan daerah di Jawa Tengah memiliki desain batik yang unik (khas) dan tenun ikat ATBM dengan pewarnaan alami. Seni dan budaya sandang merupakan bagian dari ekraf (ekonomi kreatif). Sebuah kekayaan budaya adiluhung non benda. Sebagaimana kita tahu bahwa Batik telah dinobatkan sebagai warisan kebudayaan dunia dari Indonesia oleh UNESCO.

Di tengah gempuran produk kain batik printing dari China yang murah, kami masih optimis untuk mengembangkan produk batik Jawa Tengah. Kelebihan produk sandang China terletak pada teknologi industri tekstilnya yang berskala besar, platform digital yang disertai politik dumping. Termasuk teknologi “lilin dingin” yang menggantikan teknik canting dengan “malam panas” yang sekarang banyak dipakai perajin Batik Pekalongan. Tapi soal desain batik, kita jauh lebih unggul dan berkemjauan. Saat ini di Pekalongan, lahir 100-150 desain batik baru setiap hari yang dihasilkan oleh desainer-desainer muda yang kreatif. Sebuah keunggulan komparatif (local genius) yang tidak dimiliki China.

LP-UMKM berencana membuat Pusat Inkubasi UMKM Sandang (UMKM Center) di Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan (UMPP). Bersinergi dengan PTM, MEK PW Aisyiyah, LSBO PWM, Perajin dan Pengusaha Batik. Kami memimpikan Pekajangan dan Pekalongan kembali “reborn” hadir sebagai pusat industri batik rakyat yang mendunia. Betapapun sejarah telah mencatat : Pekajangan di Pekalongan, Laweyan di Solo dan Prawirotaman di Yogyakarta pernah kesohor sebagai pusat dan kiblat batik dunia yang berjaya di masa lalu. Dan salah satu kekuatan utama di tangan para emak-emak pelaku UMKM Sandang kami tambatkan harapan. Wallahu’alam

Weleri, 11 Oktober 2023

Editor : Iman Nurhayanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network