Petani, Pangan, dan Lingkungan

Khafid Sirotudin
Khafid Sirotudin. Foto: Ist

iNewsJatenginfo.id - Nestapa petani terjadi akibat kekeringan tahun ini. Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Jawa Tengah mencatat 5.150,7 hektar lahan pertanian padi terdampak kekeringan seiring terjadinya puncak musim kemarau. Hingga Agustus 2023 tercatat sekitar 254,1 hektar tanaman padi mengalami puso. Lahan padi yang puso itu tersebar di sejumlah wilayah, antara lain Cilacap, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Kabupaten Magelang, Brebes, Kabupaten Tegal dan Pekalongan, Kendal dan Rembang. Belum tercatat ribuan hektar sawah yang tidak tertanami karena mengalami kekeringan berat di berbagai daerah.

Ada 4 kategori dampak kekeringan yaitu ringan, sedang, berat hingga puso. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, dampak kekeringan berat juga dialami pada beberapa daerah sentra produksi padi. Ribuan hektar sawah dibiarkan kering dengan tanah merekah karena ketiadaan air untuk menyirami tanaman padi ataupun palawija. Di beberapa desa, lahan sawah yang kering kerontang berubah menjadi lapangan sepakbola dan arena bermain anak-anak desa. Tanaman Semanggi yang bermanfaat untuk meningkatkan ASI-pun tak mau tumbuh seperti biasanya.

Saya jadi teringat ketika masa kecil hidup di desa. Menikmati permainan di alam bebas persawahan ketika pasca musim panen tiba. Bedanya, jika dahulu lahan sawah sengaja dikeringkan “puasa sebulan” setelah masa panen untuk mengembalikan “recovery lahan” dan merawat saluran irigasi sekunder dan tersier. Namun untuk kondisi saat ini lahan sawah terpaksa dibiarkan kering karena ketiadaan air irigasi untuk pertanian. Pasca Reformasi 1998 boleh dikatakan kita abai terhadap perawatan bendungan dan embung beserta saluran irigasi pertanian. Padahal kita semua tahu jika ketersediaan air merupakan faktor utama produktivitas pertanian, khususnya tanaman padi.

Pembangunan infrastruktur digalakkan hingga pelosok desa. Boleh dikatakan hampir semua perbaikan dan pembangunan jalan di pedesaan se Jateng sekarang memakai beton berbahan dasar utama semen, pasir dan batu. Bukan “makadam” (bebatuan yang ditata rapi), paving blok dan aspal yang masih memungkinkan air hujan masuk ke dalam tanah. Apalagi jalan beton yang tidak diimbangi dengan biopori buatan dan biopori alami berupa aneka tanaman dan pepohonan di kanan kiri jalan desa. Boleh dikatakan hampir 90 persen pedesaan kondisinya seperti ini, terutama sejak Dana Desa mengalami kenaikan yang sangat besar, antara Rp 1 - 3 Milyar per desa per tahun.

Penggunaan Alokasi Dana Desa untuk pembangunan dan perawatan infrastruktur pertanian, seperti bendung dan embung, saluran irigasi atau JITUT (Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani) serta JALUT (Jalan Usaha Tani) sangatlah minim. Apalagi untuk membangun Depo Logistik (Dolog) berupa Lumbung Padi dan Pangan Pedesaan. Peraturan tentang pengalokasian Dana Desa tidak ada diktum yang spesifik mengatur penggunaannya untuk mengembangkan infrastruktur dan suprastruktur pertanian, ekonomi pertanian maupun Depo Logistik Desa. Hal ini bisa kita baca dari Permen Desa-PDTT Nomor 8 tahun 2022 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2023.

Kondisi lingkungan pedesaan diperparah dengan meluasnya kawasan hutan yang gundul sebagai daerah penangkap dan penampung air hujan. Juga deforestasi, eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang Galian C yang semakin masif di kawasan penyangga hutan. Eksplorasi tanah, pasir dan batu gunung untuk memenuhi kebutuhan proyek infrastruktur jalan dan pembangunan kawasan industri dan perumahan menambah beban lingkungan semakin berat. Sudah satu dasawarsa lebih “Tuk Si Macan” di kawasan Gunung Mas Weleri tidak mengeluarkan air sama sekali. Seiring gundulnya hutan dan luasnya lahan bekas galian C di kawasan Pagergunung kecamatan Pageruyung, sisi selatan Gunung Mas Weleri Kendal. Padahal tatkala masih SD, kami sering berjalan sejauh 3 km dari rumah untuk mencari “pring tulup” (bambu kecil), bahan membuat mainan di sekitar Tuk itu. Tuk adalah sumber mata air di pegunungan yang sering dimanfaatkan hewan (macan, kera, burung, ayam hutan, lebah, serangga, dll) dan manusia sebagai air minum tatkala kekeringan.

Kemakmuran Petani

Pada era 70-an hingga awal 80-an petani padi boleh dikatakan masih makmur. Dengan memiliki lahan sawah irigasi teknis dan setengah teknis seluas 1 hektar, hasil panen padi sebanyak 2 kali  plus 1 kali palawija atau tembakau setiap tahun, cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sekeluarga dan membiayai sekolah 2 anaknya hingga sarjana. Pada era itu, biaya sekolah anak di Sekolah/Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta masih relatif murah dan terjangkau oleh penghasilan petani. Sarana produksi pertanian pun tersedia dan terjangkau harganya. Sebuah kondisi yang sangat bertolak belakang dengan tingkat kemakmuran petani saat ini. “Wis regane pupuk larang tur barange angel (Sudah harganya mahal, pupukpun sulit mendapatkan)”, kata mbah Ayi, petani padi tetangga kampung kami.

Sependek pengetahuan kami, di negara-negara yang memiliki Ketahanan Pangan (Food Security) dan Kemandirian Pangan (Food Resilience) bagus, tiada pemerintah yang mengenakan pajak atas lahan dan semua hasil budidaya pertanian. Bahkan pemerintah memberi banyak insentif bagi petani yang mampu menghasilkan berbagai produk bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyatnya. Selain insentif berupa tidak dikenakan berbagai pajak (PBB, PPN), pemerintah memberi gratis bantuan benih dan saprotan, membangun fasilitas sarana prasarana pendukung budidaya (JITUT, JALUT, dll), fasilitas kredit murah tanpa agunan (bunga 1-2% per tahun) dengan masa tenggat angsuran sesuai jenis tanaman dan asuransi gagal panen, juga penjaminan pemerintah untuk membeli semua hasil panen pertanian tanaman pangan dari petani dengan harga tinggi.

Perbaikan lingkungan hidup khususnya kawasan hutan dengan reboisasi secara revolutif, pembangunan dan perawatan sarana irigasi, ketersediaan bibit dan saprotan (pupuk, pestisida, dll), jaminan pembelian hasil pertanian yang tinggi, peningkatan jaminan kesehatan dan pendidikan keluarga petani, kebijakan pemerintah yang pro lingkungan bertautan erat dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan petani. Kemakmuran petani sangat berpengaruh bagi terwujudnya ketahanan pangan dan kemandirian pangan sebuah bangsa dan negara. Sebab ketahanan nasional tidak akan pernah terwujud manakala ketahanan dan kemandirian pangan yang dihasilkan petani tidak terpenuhi. Sebagaimana pernah disampaikan Bung Karno : “soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa”. 

Sebagai warga bangsa yang bukan petani, apa yang bisa kita peransertakan untuk ikut mendukung terwujudnya kemandirian pangan dan sekaligus sebagai wujud empati kepada para petani sebagai pahlawan pangan bagi negara. Mari kita mulai dari pola dan budaya makan diri sendiri dan keluarga. Dengan cara tidak menyisakan makanan (food waste) yang disajikan untuk kita. Kita minimalkan food-loss, sampah makanan yang berasal dari bahan pangan keseharian. Agar Indonesia “turun kelas” sebagai penyumbang sampah makanan (food wastage) terbesar kedua di dunia. 

Kita bisa berkontribusi dengan cara menanami sisi kanan kiri jalan desa dengan berbagai tanaman penghasil bahan pangan seperti sukun, kluwih dan buah-buahan. Kita tanami halaman rumah kita yang tidak luas dengan tanaman apotik hidup : jahe, serai, kencur, kunir, temulawak dan empon-empon lainnya. Kita tanam cabe, tomat, kenikir, daun bawang ke dalam pot bekas kaleng cat tembok atau polybag di teras rumah. Selain menghasilkan oksigen, berbagai tanaman itu dapat menjadi sarana barter bahan pangan dengan tetangga, atau menjadi sarana sedekah bahan pangan untuk warga yang membutuhkan. Apabila berlebih, bisa dijual untuk menambah penghasilan keluarga.

Mari kita habiskan sarapan pagi yang tersaji hingga sebutir nasi yang terakhir. Bukankah untuk menghasilkan sesuap nasi, petani membutuhkan waktu 4 bulan. Bukankah untuk menghasilkan segenggam beras membutuhkan kerja keras dan ribuan tetes keringat petani dan buruh tani. Bukankah rahmat Tuhan yang Maha Kuasa berada di setiap butir terakhir makanan kita yang tersisa. Wallahua’lam.

Selamat Hari Tani Nasional 2023.
Weleri, 24 September 2023
*) Pemerhati Pangan, Ketua LP-UMKM PWM Jateng

Editor : Iman Nurhayanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network