Muktamar Muhammadiyah ke 48 di Solo telah selesai diselenggarakan dengan sukses. Sukses pelaksanaan, sukses reorganisasi dan kepemimpinan, serta menghasilkan keputusan berupa Risalah Islam Berkemajuan dan program kerja Pimpinan Pusat Muhammadiyah lima tahun ke depan.
Saya baru membaca sekali draft Risalah Islam Berkemajuan sebelum ditetapkan menjadi dokumen resmi yang disepakati dalam forum Muktamar. Maka sebelum dokumen resmi hasil Muktamar ke 48 ditanfidzkan dan disosialisasikan ke warga persyarikatan, ijinkan saya menulis sebatas pemahaman saya yang dangkal atas makna Islam Berkemajuan selaras dengan tema Muktamar "Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta".
Allah Swt menciptakan manusia di bumi sebagai khalifah. Sebuah tugas dan amanat berat yang tidak sanggup dipikul oleh malaikat dan jin. Tidak seperti makhluk hidup lain ciptaan-Nya,hewan dan tanaman, manusia dalam menjalankan amanat sebagai khalifah di bumi, dibekali berbagai 'hidayah' berupa hidayah ilhami (insting), hawasi (indera), aql (akal), dien (agama) dan taufiq (taufik).
Berbagai perangkat hidayah tersebut diberikan Tuhan agar tugas menjaga bumi dan melestarikan lingkungan bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Keberlangsungan kehidupan manusia di bumi beserta kelestarian alam yang ada, sangat ditentukan oleh pola hubungan inter dan antar semua jenis makhluk ciptaan Tuhan, baik di alam makro kosmos maupun mikro kosmos. Sebuah pola hubungan yang disebut masyarakat Bali sebagai Tri Hita Karana (3 penyebab terciptanya kebahagiaan). Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parahyangan); hubungan harmonis antar sesama manusia (pawongan); dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya (palemahan).
Dalam perspektif agama Islam ketiga pola hubungan itu dinarasikan sebagai hablum-mina-Allah, hablum-minan-nas dan hablum-minal alam. Dua pola hubungan sudah sering disebut khatib, kyai, ustadz, dai dan mubaligh. Bahkan kedua istilah itu sudah familier dan tertanam dalam alam pikiran umat.
Namun yang ketiga, hablum-minal alam, masih jarang disebut dalam khotbah shalat Jum'at, shalat Ied maupun shalat gerhana (kusuf/khusuf). Sebagai khatib (pertama kali dalam hidup) saya mencoba menjadikan judul Hablum-minal Alam sebagai materi khotbah shalat gerhana bulan pada 8 November 2022 lalu di masjid An-Nur Weleri.
Banyak tertulis ayat kauliyah dalam Al-Quran yang secara eksplisit menuturkan tentang alam semesta, lingkungan hidup dan beragam pangan (aneka makanan/minuman). Lebih banyak lagi ayat kauniyah Allah yang bertebaran di jagat raya dan bumi (tanah, laut, sungai, danau, udara) yang kita tinggali. Semua makhluk hidup dan benda mati sengaja diciptakan Allah untuk mendukung kelangsungan hidup manusia di bumi hingga H-1 kiamat. Sebuah episode atau batas terakhir kehidupan semua makhluk hidup dan manusia yang sedang berproses dan pasti akan terjadi mengikuti Sunatullah yang mutlak, pasti, obyektif, universal dan evolutif.
Matahari, bulan, bintang dan planet berputar sesuai gatis orbit-Nya. Laut, sungai, danau, gunung, air, malaikat, jin serta berbagai jenis hewan dan tanaman semua patuh, taat dan tunduk menjalani titah-Nya sebagai makhluk Tuhan. Tiada satupun daun yang tumbuh dan gugur diluar kontrol Tuhan yang Maha Kuasa. Hanya manusia, makhluk yang seringkali khilaf dengan akal dan nafsunya berbuat di luar batas kewajaran sebagai makhluk ciptaan Allah.
Manusia seringkali makan dan minum berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit degeneratif dan beragam penyakit infeksius yang muncul belakangan ini. Manusia mengeksplorasi dan mengekploitasi sumberdaya alam dengan mengabaikan daya dukung lingkungan.
Atas nama pembangunan, manusia sering mengalienasikan nilai kejujuran, keadilan dan keseimbangan lingkungan dalam membangun infrastruktur sekedar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, namun tuna keadilan terhadap kelangsungan hidup hewan, tanaman dan rusaknya lingkungan hidup.
Akibatnya alam semesta dan makhluk ciptaan Tuhan selain manusia, berusaha sekuat tenaga mengembalikan keseimbangan alam semesta, ekosistem kehidupan. Banjir, gunung meletus, tanah longsor, global warming, pandemi Covid-19 hanyalah reaksi alamiah atas kedzaliman laku manusia terhadap alam dan lingkungan hidup.
Tidak ada seorang/seekor/sebuah makhluk-pun yang diciptakan Tuhan sia-sia dan tanpa manfaat bagi manusia. Sebagaimana firman-Nya : "Rabbana ma khalaqta hadza batila, faqina adzab-an-nar". Selaras dengan sabda Nabi saw : "Cukuplah sebuah kematian menjadi pengingat bagi kita".
Tidak cukupkah kematian 157.000 orang lebih warga negara Indonesia selama pandemi Covid berlangsung 2 tahun sebagai pengingat kita?
Atau, tidakkah cukup berbagai bencana alam : banjir, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kekeringan dan ribuan anak stunting yang terjadi di seluruh penjuru negeri membuat kita sadar diri untuk kembali ke jalan yang baik dan benar ?
Aksi Nyata Hablum-minal Alam
Presiden Jokowi, dalam sambutan pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo, mengemukakan narasi hablum-minal alam. Saya meyakini narasi tersebut muncul sebagai respon positif atas tema yang diangkat dalam Muktamar yaitu "Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta". Beliau mengajak segenap elemen bangsa (rakyat, wakil rakyat dan pemerintah) untuk bergotong royong membangun kehidupan kebangsaan yang lebih bermartabat dan berwawasan lingkungan dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara bijak.
Muhammadiyah, sebagai salah satu pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya mengambil peran penting bersama komponen anak bangsa lainnya, dalam menangani krisis pangan, krisis energi dan krisis lingkungan. Sebuah 'krisis peradaban kontemporer' yang sedang dihadapi oleh semua bangsa dan negara di dunia. Sebuah kesenjangan peradaban (civilization gap) yang muncul akibat keserakahan dan ketidakadilan/kedzaliman, serta absennya nilai moral dan etika sosial manusia terhadap Tuhan, sesama dan lingkungan/alam semesta.
Saya berharap, Risalah Islam Berkemajuan yang dihasilkan Muktamar Muhammadiyah ke-48 hendaknya bisa menjadi semacam "Fikih Peradaban" yang mampu dipraktekkan secara nyata dalam kehidupan umat dan warga persyarikatan sehari-hari. Sehingga diharapkan warga dan umat mampu mengejawantahkan setiap laku kehidupan menjadi amal shalih dan bernilai ibadah (hablum-mina-Allah).
Setiap pimpinan, kader dan warga persyarikatan dituntut mampu bersinergi dan berkolaborasi dengan sesama (hablum-minan -nas). Mari kita biasakan berperilaku jujur, adil, berperikemanusiaan, memiliki sense of behaviour, gemar dan gembira membantu sesama, mampu hidup saling asah-asih- asuh dalam keragaman suku-agama-ras (bhinneka tunggal ika). Warga dan umat diminta menghormati tradisi lokal (local genius) beralaskan cinta kasih sesama, berakhlak sosial dan berperadaban unggul. Sehingga umat dan masyarakat terhindarkan dari wabah "cultural-lag" atau "jumud-millenial". Sebuah kebekuan peradaban/budaya yang sejak awal berdiri selalu dihadapi dan melekat pada diri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaharuan).
Hubungan harmonis dengan alam dan lingkungan (hablum-minal alam) harus diarusutamakan pada setiap pembangunan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang berwawasan lingkungan. Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan konsep Go-green/Pro Lingkungan dalam membangun berbagai sarana prasarana persyarikatan harus mulai dijalankan.
Pembangunan masjid At-Tanwir di kompleks PP Muhammadiyah Jakarta bisa dijadikan contoh dan model bangunan yang memanfaatkan energi matahari untuk pencahayaan dan sumber energi kelistrikan, serta pemanfaatan kembali "re-use, re-cycle" air tanah secara efisien. Tidak lupa pembuatan biopori dan penanaman aneka tumbuh-tumbuhan untuk meminimalkan ancaman banjir dan memaksimalkan pemanfaatan air tanah.
Last but not least, pembentukan Korps Mubaligh/Da'i PanglingMu (Pangan dan Lingkungan Muhammadiyah) perlu dibentuk di setiap daerah dan cabang untuk memberikan contoh dan menebarkan pencerahan umat dibakar rumput dalam merealisasikan hablum-minal alam.
Wallahua'lam
Tegalmulyo, 21 November 2022.
Editor : Iman Nurhayanto
Artikel Terkait